12. Hari Berkabung

653 13 23
                                    

Setelah momen kami waktu itu, Dimas makin perhatian ke aku. Ya aku senang, siapa pun pasti senang kan kalau diperhatikan? Pagi ditelepon, "sayang bangun", mau makan ditelepon "sayang makan", mau tidur ditelepon "sayang bobo", walau aslinya agak menggelikan kalau dipikir-pikir. Ah! Tapi namanya juga orang sedang jatuh cinta, mana kepikiran itu menggelikan atau enggak. Yang ada bawaannya happy aja!

Saat itu KKN sudah berakhir, tapi kami masih sering bertemu untuk membahas laporan kegiatan KKN. pokoknya, sebelum ujian KKN, kita masih harus tetap solid demi dapat nilai bagus. Kita juga harus saling bersahabat satu sama lain agar waktu ujian nanti bisa saling memberi ulasan baik atas kelakuan masing-masing masa KKN. Kami semua mengincar nilai A! Karena itu aku dan Dimas juga masih sering bertemu, walau enggak se-tiap-hari-itu, tapi interaksi kami masih cukup intens. Yang kami lakukan? Ya biasa lah, pada umumnya orang berpacaran saja: jalan bareng, makan bareng, gandengan tangan, bercumbu sesekali, telponan, enggak ada yang spesial.

Namun, kali ini aku tak akan cerita tentang kisah asmaraku, melainkan akan ku ceritakan bagaimana kisah patah hatiku. Loh kok cepat sekali sudah patah hati? Pasti begitu komentarmu! Iya, memang, secepat itu cinta datang, secepat itu juga cinta pergi. Aku ingat, itu titik balik aku jadi penulis. Kamu tahu kan? Orang patah hati itu sama berpotensinya dengan orang jatuh cinta buat jadi penulis. Karena perasaannya cenderung jadi lebih tajam. Tulisannya pun penuh emosi yang bisa nyalur ke pembaca. Kamu enggak perlu baca formula Freud buat tahu itu: 'jatuh cinta jadi puisi, putus cinta pun jadi puisi'. Aku memang kuliah Sastra, tapi aku enggak pernah nulis karya kreatif, setelah patah hati itu, aku mulai menulis kisah romansa yang memuakkan. Aku benar-benar menulis pakai perasaan. Hingga banyak manusia galau akhirnya menyukai karyaku.

Sekitar dua minggu saja aku merasakan indahnya jatuh cinta, duh ngenes banget ya kawan! Setelah dua minggu berlalu, Dimas mendadak hilang dari peredaran. Tidak ada kabar beritanya sama sekali, tidak lewat telepon, pesan, sosmed, surat apa lagi! Dia seperti hilang ditelan bumi. Padahal aku sudah mencoba mengontak dia berkali-kali seperti stalker, penguntit. Untungnya aku masih cukup waras untuk tidak mendatangi ke kosnya atau ke kelasnya.

Aku mengurung diri di kamar, layaknya perempuan lain yang sedang patah hati. Ku tutup seluruh jendela kamarku dengan kain hitam, ku matikan seluruh lampunya, dan ku pakai baju serba hitam.  Seperti sedang berkabung, menghadapi kematian. Di kegelapan itu, ku tulis banyak barisan puisi yang menyiratkan kelebayanku tentang rasanya patah hati. Harap maklum kawan, itu pertama kalinya aku pacaran, baru juga terbang sebentar, tiba-tiba kaki ku malah ditarik hingga aku terjatuh, lalu ditenggelamkan, semakin tenggelam sampai di dasar palung Mariana, kemudian tertimpa bangkai kapal titanic pula setelahnya. Lengkap lah sudah deritaku.

Aku mengingat sebagian lirik yang aku tulis untuknya. Seperti ini:

Gelap ini, membawa kedamaian.
Gelap ini, tudung kehidupan.
Gelap ini, selimut hati.
Gelap ini, kabut mimpi.
Gelap ini, membawa harap.
Gelap ini, menyambut matahari.
Gelap ini, penanda berganti hari.
Gelap ini, penanda datangnya mimpi.
Gelap ini, hitam yang berganti merah.
Hitam malam dan merah fajar.

Ini hanya satu dari banyak stok puisi yang ku buat untuknya. Sebagian besar sudah aku hapus setelah aku move on, aku tidak berencana membuat antologinya. Enggak lucu lah kalau nanti aku lihat antologi puisi tentang ku dan dia di toko buku, tiba-tiba bikin aku terpicu buat merobek-robeknya karena ingat apa yang dulu terjadi antara aku dan Dimas. Aku pun pernah menulis surat untuknya, membuat berlembar-lembar surat yang akhirnya tak pernah ku kirimkan. Hanya sebagai penanda bahwa aku sedang patah hati. 

Aku merasa hatiku berlubang sangat besar, hitam kelam, dan menganga lebar menertawakan kebodohanku. Aku tidak menangis kawan, tapi rasa sesaknya sangat terasa seperti aku telah menangis berjam-jam. Bagian solar plexus-ku rasanya seperti diremas, diperas, digulung kesana kemari. Seluruh tubuhku rasanya seperti merasakan nyeri yang tiada habisnya. Aku bahkan tak mampu berdiri karena kakiku rasanya seperti tertusuk ribuan serpihan kaca. Kau tahu kenapa aku memilih kaca sebagai perumpamaannya? Karena luka yang di sebabkan oleh kaca rasanya lebih sakit dari pada tertusuk jarum. Luka bekas  sayatan kaca rasanya lebih nyeri dan pegal, bahkan jika luka itu sudah mengering.

Ukhti KhilafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang