Sore itu kami melanjutkan percumbuan yang panas. Perasaanku, untuk pertama kalinya benar-bener ku biarkan lepas, ku biarkan mengalir, tak ada lagi yang tertahan, tak ada lagi rasa yang kubendung. Semua mengalir mengikuti arus. Ku rasa ada benarnya, nggak usah di pikir, tapi dirasa saja.
Dari posisi duduk, kami pindah posisi ke tempat tidur. Dimas berada di atasku, menelusuri tubuhku. Tangannya dengan lihainya menggoda seluruh tubuhku, membuatku menginginkan hal-hal yang tak seharusnya tak ku inginkan. Jari-jemarinya mengoyak-ngoyak bagian tersensitif dalm tubuhku, memberi ransangan pada 8000 syaraf yang ada di dalamnya. Tubuhku gemetar. Tanpa sengaja desahanku lolos begitu saja, membuatnya makin bersemangat. Penampilanku pasti sudah berantakan, braku sudah terlepas, jatuh entah kemana, aku ingat satu-satunya pakaian yang melekat padaku saat itu adalah blus tak yang terkancing sama sekali. Lama-lama aku bisa gila di buatnya. Rambutnya yang kriwil kini jadi bahan pelampiasanku, ku acak-acak tiap merasakan jarinya menjelajah makin dalam. Saat dorongan kenikmatan hampir tiba pada puncaknya, Dimas membuatku makin bergetar.
"Hh..hh... Dim... what's this..."
"Sttt...., just enjoy it"
Aku nggak tahu lagi apa yang terjadi, yang jelas, sepertinya aku mengalami orgasme pertamaku, rasanya sangat, ah... bukan hal yang bisa di gambarkan dengan kata-kata. Ini tidak sama dengan sekedar ciuman, ini lebih dari itu. Rasanya enggak berlebihan kalau setelah orgasme, seseorang cenderung berkata "I love you" pada pasangannya dengan sukarela. Karena tubuhmu benar-benar marasa dicintai, merasa mencintai dan merasakan cinta yang sesungguhnya. Seluruh hormon cinta: oksitosin, dopamin, endorfin membaur, menjadi satu, mengaburkan moral yang ada.
"Je! May I?" Tanya Dimas dengan tatapan berkabut penuh gairah.
"What?" Aku nggak mengerti arah pembicaraanya. Atau mungkin aku nggak sadar karena aku terlalu fokus dengan diriku.
"Masukin punyaku" jawabnya gamblang.
Apa maksudnya dia mau menyatukan penisnya dengan vaginaku? Making love? Bad thing! Tentu aku langsung bangun, kemudian mendorongnya menjauh.
"No, Dim!"
"Why not? Udah ready loh ini. Kenapa?"
"Aku nggak mau Dimmm."
"Takut hamil? Tenang aja, aku ambilkan kondom dulu"
"Bukan masalah hamilnya, Dimas"
"Terus kenapa?"
"Aku mau jaga keperawananku!"
"Hah? Aku udah liat dan sentuh semua bagian tubuh kamu Je! Apa bedanya?"
"You can touch and have every thing on me, but not my virginity."
"Why?"
"Kamu kan tahu Dim, keluargaku sangat konservatif. Aku tahu virigitas itu cuma dibatasi dengan membran tipis yang mengelilingi introitus vaginaku secara biologis. But, you know? Membran yang disebut Hymen itu kalau sampai robek akan berbuntut panjang dalam tatanan sosialku, yang pertama masalah moralitas tentunya. Aku memang sudah melangkah terlalu jauh sama kamu, tapi aku hidup bukan cuma buat aku sendiri, aku masih punya keluarga dan masyarakat yang siap nge-judge aku kalau sampai hymenku robek sebelum nikah. Perempuan berjilbab panjang kayak aku paling gampang dihakimi untuk masalah kayak gini. Stereotip yang ada di masyarakat kita selalu melabeli perempuan berhijab dengan kata alim yang bahkan artinya aja salah. Alim arti sebenarnya ahli ilmu, tapi di masyarakat kita alim, artinya ahli ibadah. Padahal hijab bukanlah tolok ukur seseorang bisa di anggap alim atau tidak, bermoral atau tidak, beradab atau tidak. Tapi sudah mendarah daging dalam pemikiran mereka bahwa perempuan berhijab, apalagi hijab panjang haruslah alim dan perawan. Nggak peduli bahwa perempuan berhijab pun juga bisa khilaf dan berdosa." Kataku nyerocos panjang lebar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ukhti Khilaf
ChickLitTiba-tiba ia mencondongkan badan dan mencium bibirku. Astaga! Aku hendak bilang astagfirullah sebenarnya, tapi mengingat bahwa setelahnya aku bukannya menolak tapi malah menginginkannya lagi karena penasaran, jadi dari pada tobatku jadi tobat sambal...