8. Tulang belulang

975 155 32
                                    


Krek krek krek

Aria berjengit, lagi-lagi suara itu, batinnya.

Sebenarnya Aria sering mendengar suara-suara aneh yang berasal dari kamarnya sejak awal kepindahannya ke rumah ini beberapa minggu yang lalu. Awalnya Aria takut, berpikir bahwa itu adalah hantu. Namun kini ia sudah bisa melihat hantu tapi sama sekali tak pernah terlihat bahwa suara itu berasal dari aktifitas supranatural.

Awalnya pula ia sempat berpikir bahwa mungkin itu tikus ataupun hewan kecil lainnya, namun pada akhirnya semua itu terbantahkan dengan fakta bahwa rumahnya selalu disterilkan setiap seminggu sekali oleh petugas pengusir hama, sebuah kebiasaan dari sang Baba.

Malam itu, Aria memberanikan diri. Ia memasang telinga nya baik-baik, mencoba mencari sumber suara. Ia melangkah perlahan di setiap suara itu muncul, memastikan arah langkahnya sendiri.

Langkahnya terhenti di depan meja belajar miliknya, ia menggeser mejanya. Menempelkan telinga pada pada dinding, kepalanya bergerak turun sampai ia berjongkok, memastikan bahwa suaranya berasal dari sana.

Renjun mengetuk pelan tembok itu. Matanya melebar saat suara ketukannya terdengar keras. Tembok itu bukan bata?.

Lalu tangannya kembali mengetuk ke area sekitarnya. "Tembok ini bata, tapi cuma bagian bawah sini yang bunyinya nyaring. Triplek? " Gumamnya.

Lalu tanpa pikir panjang, kakinya terayun guna menendang dinding triplek itu berkali, membuat kini dindingnya itu menganga lebar.

Bau busuk menyeruak keluar, Arjuna menutup hidungnya lalu melongok ke dalam lubang itu.

Area kosong itu sangat sempit, mungkin hanya sekitar sekitar 60x60x10. Dinding Aria ini memang cukup tebal, guna mengurangi panas dari luar yang meresap kedalam.

Lubang itu dipenuhi kresek yang berhimpitan, sekitar 3 kantung kresek yang ditata sedemikian rupa agar muat di lubang itu.

Aria ini pintar, dulu ia sering ikut Ayahnya mempelajari kasus-kasus yang beliau tangani.

Aria mengambil sapu tangan di lacinya, lalu ia gunakan untuk mengambil kresek itu.

Tangannya dengan telaten mencoba membuka kresek itu walau ia agak kesulitan.

Berhasil. Terbuka.

Bau busuk makin menyengat, membuat Aria mengernyit. Ia buka lebar kresek itu, matanya melebar tidak percaya melihat isi dari kresek itu.

Tulang belulang.

Aria termundur, lalu bergegas mengambil ponselnya. Menelpon kontak yang sama sekali tak pernah disentuhnya hampir dua bulan ini. Nomor Ayahnya.

Setelah menelpon Ayahnya, menjelaskan semua yang terjadi. Ia menelpon Hara, memintanya untuk datang segera. Aria lalu terduduk di ranjangnya dengan tatapan mata kosong, masih terlalu kaget.

Tak begitu lama, ponselnya bergetar. Pesan dari Hara bahwa ia sudah menunggu di depan rumah. Aria turun dengan cepat.

"Hey? Lo gak papa? Beneran tulang manusia? " Tanya Hara dengan khawatir.

Aria mengangguk. "Gue gak apa. Gue belum tau pasti itu tulang manusia atau bukan. Tapi kalau dari ukurannya, gue yakin itu tulang manusia"

Hara menghela napas. "Syukur kalau lo gak papa" Hara menatap Aria dengan pandangan heran. "Kok lo kayanya tenang-tenang aja?. Maksud gue, waktu lo pertama kali liat hantu, lo histeris banget"

"Hm? Soalnya gue kadang liat berkas-berkas Ayah. Banyak foto mayat, tulang belulang, korban pembunuhan. Dan baca kasus-kasusnya, jadi gue gak begitu kaget sama hal kaya gini"

Hara bergidik. "Serem deh lo"

Aria mengangkat sebelah alis mendengar komentar itu. "Apa deh? Ya wajar aja kali, soalnya kalo hantu bisa pegang gue. Kalo mayat, emang dia bisa apa? "

Setelah Aria selesai berbicara, mobil-mobil polisi telah sampai. Dapat Aria lihat bahwa Ayahnya berlari ke arahnya dengan tergopoh.

Yudha peluk anaknya itu dengan erat. "Aria gak apa-apa nak? " Tanya Ayah Aria dengan khawatir.

Aria sempat tertegun, rasanya sudah lama sekali ia tidak dipeluk sang Ayah. Lengan Aria melingkari punggung Ayahnya, memeluk lebih erat. Tiba-tiba dirinya merasa sedih, air matanya menetes perlahan. "A-ayah... "

Ayah Aria mengelus pelan punggung anaknya itu dengan pelan, berusaha menenangkan sedangkan matanya menatap pada anak buahnya yang mulai memasuki rumahnya untuk mengambil tulang-tulang itu.

"Ayah... Kangen... "Ucap Aria dengan lemah.

Sang Ayah tersentak, tubuhnya seolah membeku sejenak sebelum akhirnya tersenyum hangat. " Maafin Ayah ya? Untuk semuanya, maafin Ayah"

Aria sesenggukan sambil mengangguk. "Ayah terlalu jauh. Terlalu jauh buat aku gapai, Ayah jangan jauh-jauh lagi. Aku sekarang cuma punya Ayah"

"Iya, maaf ya. Mulai sekarang Ayah gak akan jauh-jauh" Mulai sekarang Yudha akan mengalah dari egonya. Dari ambisinya.

Dulu Aria dan Ayahnya benar-benar dekat, bahkan Aria lebih dekat dengan Ayahnya daripada Babanya. Namun, lambat laun jadi jarang pulang dan bahkan jarang sekali memperhatikan tumbuh kembang anak semata-wayangnya itu.

Puncaknya adalah waktu itu, Baba Winata diserang orang tidak dikenal di sebuah. Namun, Yudha sama sekali tak datang untuk menjenguk. Aria marah, sangat marah. Apalagi kala dirinya harus ditampar kenyataan bahwa Babanya meninggal tak lama setelah masuk rumah sakit. Dua hari, Babanya meninggal setelah dua hari dirawat dan Ayahnya itu tak datang sama sekali. Bahkan, Ayahnya itu pergi bekerja ke kantor polisi karena ambisinya untuk menemukan buronan seorang pembunuh berantai, di tengah pemakaman Baba. Ayahnya seolah lupa diri, Aria benci.

Setelah beberapa lama, para polisi itu keluar dari rumah mereka. Membawa tiga kantong kresek hitam dengan tulang-belulang di dalamnya.

Yudha melepaskan pelukan, memegang bahu anaknya itu dengan lembut. "Aria ikut Ayah ke kantor ya? Nginep disana? "

"Nginep di kantor polisi? "

Ayahnya mengangguk, "Kamu nanti jadi saksi dulu, ga apa-apa kan?. Terus nginep di kantor, atau mau Ayah pesenin kamar di hotel? Gak baik kalo kamu pulang ke rumah sendirian setelah keadaan ini"

"Aria ikut saya saja om" Kata Hara menyela.

Yudha berdecak tak suka lalu mengalihkan pandangannya pada Hara. "Saya gak ngomong sama kamu"

Hara menghela napas malas. "Iya, maaf om"

Aria terkikik. "Aku sama Hara aja Ayah, gak apa-apa kok"

Yudha menatap Aria. "Beneran? Gak apa-apa? "

Aria mengangguk meyakinkan. "Aman kok! "

Yudha menghela napas malas, merasa kalah dari anaknya sendiri. Pada akhirnya, Aria adalah anak semata wayangnya. Anggota keluarga satu-satunya. Ia tak punya kuasa untuk melarang keinginan anak manisnya ini.

"Oke deh, tapi kita ke kantor dulu ya? Kamu jadi saksi" Ucap Yudha.

Aria mengangguk, lalu mengikuti Ayahnya yang tanpa tedeng aling-aling langsung menggiringnya memasuki mobil, menghalau Aria dari jangkauan Hara yang kini merengut karena tak bisa mengajak Aria memasuki mobilnya.

"Ayah, jangan lebay gitu ah. Kasian Hara tau" Kata Aria setelah Ayahnya memasuki mobil.

Yudha menyalakan mesin mobilnya, menengok pada anaknya itu sebentar sebelum menjawab. "Dia masih jauh dari kategori mantu idaman Ayah"

"H-hah? " Aria membalas dengan bingung. "Apa sih Ayah, kok mantu? "

Yudha hanya mengangkat bahunya dengan cuek lalu menjalankan mobilnya, mengikuti mobil-mobil polisi di depan mereka.


Heloo heloo

Setelah goncangan realita di kehidupan nyata, aku kembali lagi eaaa.... Masih belom seminggu, berarti masih diitung double up kan ya? Wkwkwk....

Ceritanya, akan dimulai di sini... Jadi tolong cermati beberapa petunjuknya yaa... Hehehe....

See you later guys...

GHOST || HYUCKREN (DISCONTINUED) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang