gacoan

50 11 4
                                    

"What is it?"

"Dia setuju, selesai kelas hari Selasa."

Ara memicingkan matanya curiga.

"As a friend, kok."

"Noh, ngomong sama tembok!"

Larissa tak pernah jatuh cinta, tak pernah pacaran, tak tertarik juga. Namun, Larissa gampang menaruh rasa suka, gampang baper, tapi hanya sebentar. Semua orang dianggap teman olehnya, begitu juga pada Altair.

Hari Minggu dihabiskan sepasang sahabat itu untuk menonton drama, dilanjutkan dengan maraton tugas yang akan dikumpulkan esok hari, tentu saja dengan sedikit bumbu perjulidan.

"Cowok baju merah yang dua hari lalu aku ceritain, kamu ingat, nggak?"

"Ingat, kenapa?"

Bohong, sebenarnya Ara tak ingat.

"Ternyata dia udah punya pacar!"

"Kata siapa?"

"Kemarin aku liat dia, tapi nggak apa, sih. Aku masih punya banyak cadangan ...," Larissa menggerakkan jarinya. "lima, aku masih punya lima cadangan."

Tuh, kan! Bagaimana bisa Ara mengingat seluruh pria yang diceritakan oleh sahabatnya itu?

"Dasar kolektor!"

"Ini namanya seleksi," kata Larissa tak mau kalah.

"Seleksi tak berujung! At the end of the day, all you have is yourself, kan?"

"All I want is a good boy, are my expectation far too high?"

"Malah nyanyi!"

✧*。

Hari Senin berlalu, tandanya kurang lebih dua puluh empat jam lagi Larissa akan bertemu dengan Altair. Yang menjadi masalah adalah, hari Selasa gadis itu tak berada di kelas yang sama dengan Ara.

"I can't meet him with myself."

"Why?"

Larissa menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. "Takut salting."

"Sick!"

Gadis asal Jawa Tengah itu memelas. "Claryn Arabella, kamu nggak mau temenin aku?"

"Aku ikut, tapi bayarin."

"Aku pergi sendiri!"

Ara tertawa, padahal hanya bercanda. Tapi baguslah jika ia tak perlu menemani, ada film yang harus ia tonton.

"Ke gacoan naik apa? Ojol?"

"Dijemput Altair."

"You sure?" tanya Ara tak yakin. Bukannya apa, Larissa ini mudah sekali ditipu. Bagaimana bisa ia mempercayakan sahabatnya pada laki-laki yang ia sendiri belum pernah temui? Yah, meskipun dari fotonya, Altair terlihat seperti orang benar. "Aku anter aja deh," tawarnya yang berujung penolakan.

"Have fun. Kalo ada apa-apa, hit me up!"

Dan hari Selasa, Altair sungguh menjemput Larissa. Padahal gadis itu tak akan keberatan jika harus memesan ojek, tapi Altair malah menawarkan diri, 'kan jadi senang.

"Baru selesai kelas, ya?" tanya Larissa basa-basi.

Altair memberikan helm yang sengaja ia bawa. "Iya, langsung ke gacoan, ya?"

Larissa mengangguk patuh, ia naik ke atas motor sambil memainkan ponsel, sibuk bertanya pada Ara, topik apa yang sebaiknya dibahas bersama pria di depannya. Namun di luar dugaan, Altair adalah yang pertama membuka obrolan.

"Kamu jurusan apa?"

"Oh, God, he's sensible," kata Larissa dalam hati.

"Sa?"

"Sorry, I didn't hear you, apa tadi?"

"Kamu jurusan apa?"

"Sastra Inggris, semester tiga." Larissa balik bertanya, "kalau kamu?"

Gadis itu harus pura-pura tidak mengetahui apapun tentang seorang Altair Widayana, atau ia akan dikira seorang stalker.

"Psikologi, semester lima."

"Wah! should I call you big bro?"

"Or can I call you mine?" Lanjut gadis itu dalam hati.

Altair tertawa. "Call me what ever you want."

Larissa semakin cekikikan di atas motor. "Since we are javanese, okay, Mas."

Restoran yang menjadi tujuan keduanya tidaklah jauh, tak perlu waktu lama untuk sampai, begitu yang Larissa rasakan. Namun kali ini, mengapa hampir sepuluh menit?

Larissa berpikir sendiri. "Is he riding too slow?"

Apapun itu, ternyata mengobrol dengan Altair bukan hal yang buruk, malah terasa menyenangkan. Larissa seperti sudah mengenal pria bermata sipit itu untuk waktu yang lama, padahal mereka baru saja bertemu tiga hari yang lalu.

"Is it love at second met?"

Orbiting SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang