Desember

8 3 1
                                    

Pertengahan bulan Desember, ujian akhir semester sudah selesai. Semua orang bersiap untuk liburan, semua orang termasuk Larissa dan Ara. Dua gadis itu telah bolak-balik membuka aplikasi jual beli tiket kereta, berburu harga termurah yang bisa mereka dapatkan, dan jadwal kepulangan telah direncanakan.

"Sa, aku mendadak ada urusan!" kata Ara terdengar panik di seberang telpon.

"Urusan apa? Is everything okay?"

"No worries, I just can't go with you tomorrow."

Helaan napas terdengar, apa boleh buat. "Okay, take care, ya!" dan sambungan terputus.

Sebenarnya kedua gadis itu telah berniat untuk membeli oleh-oleh, tapi Ara punya rencana lain.

Satu pesan masuk.

"ajak altair aja"

Larissa sedikit berpikir, "Memangnya dia mau?"

"mau"

Notifikasi baru muncul di ponselnya, dari Altair. Sontak Larissa terkekeh, cepat sekali pria itu membalas pesannya. lima belas menit kemudian, keduanya telah melaju di bawah pesawat kelabu.

"Bawa mantel, nggak?"

Larissa menatap spion, menyengir. Altair ikut menyengir.

Kota Malang, bulan Desember. Alamat basah kuyup, Altair sebenarnya khawatir akan sakit, tetapi Larissa masih saja memamerkan giginya.

"Kalau sakit, nggak jadi balik, lho!"

"Nggak bakal sakit perkara lupa bawa mantel doang, lagian kayaknya nggak akan hujan, sih."

Tolong catat, Malang, Desember, jam empat sore. Seberapa yakin hujan tak akan mengguyur aspal hari ini?

Memang pada dasarnya manusia tak boleh bicara besar. Butiran air terasa tajam menghantam tubuh, Larissa memeluk dua bungkus oleh-olehnya dengan erat, kemudian tertawa kencang. Tentu saja, siapa yang tidak suka hujan?

"Oleh-olehnya taruh di bagasi motor, mau nggak?" Altair meninggikan suaranya sedikit.

Keduanya menepi, mengamankan kantung kertas yang ringkih itu, juga barang-barang rentan air.

"Beneran nggak apa-apa? Kita bisa neduh kalo kamu mau."

Gelengan kuat diberikan gadis itu. "Aku mau main hujan."

"Serius? Takutnya kamu sakit!"

"Kenapa takut? Takut itu sama Allah!"

Selanjutnya Larissa menikmati setiap detik sore ini pasalnya sudah lama ia tak main hujan.

"Yah, terakhir main hujan, sih, dua hari yang lalu," katanya lalu tertawa.

✧⁠*⁠。

Claryn Arabella menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Sedikit merasa bersalah karena menjadi penyebab sahabatnya harus pulang basah-basahan.

"Sebenernya aku sengaja biar kalian bisa jalan bareng, malah hujan."

Sementara Larissa sudah siap untuk melemparkan batu dari seberang telpon.

"Lagian, udah tau musim ujan, malah nggak bawa jas ujan!"

"Ya, 'kan lupa!"

"Terus mana oleh-olehnya? Basah, nggak?"

Alis Larissa bertaut. "Mana, ya, Ra?"

pertanyaan gadis itu membuat Ara berdehem, sudah tak heran dengan sifat pelupa yang dimiliki temannya. "Coba diingat, pas pulang masih ada, nggak? Baru beberapa jam yang lalu, lho!"

Larissa berlari ke arah pintu depan, meragakan ulang kejadian sore tadi. "Buka pintu, bawa tas sama hp."

"Terus?"

"Terus-- Oh! Ketinggalan di motor Altair." Gadis itu kembali ke kamar, mengambil selimut Mickey Mouse dan kembali ke posisi awal -rebahan.

"Jam segini Altair udah tidur belum, ya?"

"Besok aja, udah malam."

Larissa menurut, selanjutnya panggilan terputus. Otaknya secara tak sadar memutar kembali kejadian sore tadi dan senyum kecil terbit di bibirnya.

"Sebagai ucapan terima kasih, mending beliin bubur ayam atau pecel, ya?"

"Liat besok aja, deh, pengennya apa."

Gadis itu sedang bersiap untuk tidur ketika ponselnya kembali berdering. Bukan nama Ara, tetapi Altair.

"Kenapa, Mas?"

Altair berniat memberitahu kalau keripik Larissa tertinggal di motornya, tetapi bukan itu yang menjadi fokus Larissa sekarang.

Seseorang di seberang telpon. "Bukan Altair."

Orbiting SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang