Dia tak sendiri

18 8 1
                                    

Anta.

"cieee salting sama siapa, sa?"

Huh?

"Ngapain, sih, nanya-nanya?" Larissa jadi menggurutu sendiri tapi kalimat tadi dihapusnya, tidak jadi mengomeli Anta.

"kepoooo!!! kamu dilarang kepo"

Larissa tak boleh kalah. "Mari kita buat seorang Anta penasaran."

"dih!"

Lagi, gadis beriris coklat tua itu terkekeh. Bagaimana bisa satu kata dari Anta mampu membuatnya sedikit gila?

"sa"
"mau cerita"
"saaa"
"lama bgt balesnya"
"ga jadi deh"

Lah?

"SABAR, KAMU NGECHAT SATU DETIK YG LALU!"
"mau cerita ap?"

Larissa lagi-lagi merasa spesial. Ini ... pertama kalinya Anta mengatakan ingin bercerita sesuatu. What's wrong, Anta?

Masih belum dibalas. Hingga gadis itu tersadar bahwa sudah hampir jam setengah satu malam.

"nganyuk sa. bedok aja"

"oke"

Dan Larissa sadar, seharusnya ia anggap Anta sebagai teman saja. Bukannya merasa paling dekat dengan pria itu.

Larissa beralih pada ruang obrolan bersama adiknya, Atlas. menanyakan satu pertanyaan bodoh yang ia sendiri takut dengan jawabannya.

"they'll say they want to say something, but then they'll drop it. It makes everyone curious and obsessed, just like u rn."

Dan Larissa sadar, seharusnya ia anggap Anta sebagai teman saja. Bukannya merasa paling berharga hanya karena beberapa percakapan tengah malam. Fakta bahwa pria itu memang tak mau terlalu dekat dengannya, sedikit menyentil hati Larissa.

"Kenapa jadi galau gini, sih? Kan masih ada Altair!" Larissa tetap Larissa, gadis yang tak pernah serius dengan perasaannya.

✧⁠*⁠。

"Seru, ya, ngobrol sama Altair?"

"Seru! Altair ramah, kita selalu gantian untuk cerita. Udah bestie banget, nih, kita!" Gadis itu antusias.

"Si paling, deh!"

Berikutnya mereka terkekeh sambil terus berlari kecil di Sabtu pagi yang mendung.

"Nanti sore jadi?"

"Jadi, pakai baju apa, ya?

"Yang cakepan dikit, ketemu Altair soalnya."

Larissa duduk lalu menenggak minumannya. "Itu, sih, pasti!"

"Anta!"

Si pemilik nama menoleh, kemudian menghampiri sepasang sahabat itu, bersama dengan Damar di sebelahnya.

"Hai Ara!"

Itu Damar yang berbicara, yang dibalas dengan anggukkan singkat dari Ara.

Sementara Larissa merasa sedikit sial. Mengapa ia harus bertemu Anta saat tak sedikit pun riasan berada di wajahnya.

"Crap! Kenapa ketemunya pas aku lagi nggak cantik, sih?" Kata Larissa dalam hati.

"Pas banget ketemu di sini." Anta mengalihkan pandangannya pada Larissa. "Mau lanjut olahraga bareng, nggak?"

"Boleh!" Sahut Ara, melirik sahabatnya yang sudah memerah telinganya.

Berikutnya keempat remaja itu mulai berlari kecil. Sedikit basa-basi yang sebenarnya sangat basi, mengingat mereka berempat berada di satu jurusan yang sama.

Larissa memberi semangat pada diri sendiri. "Sepuluh menit, setelah itu aku harus cari alasan biar bisa pulang duluan."

Bukannya apa, Larissa sungguh tak sanggup menahan gejolak di perutnya setiap kali berdekatan dengan Anta.

"Ra, pulang, yuk."

Ara tentu saja paham. "Guys, kita kayaknya udahan, deh. Larissa nggak enak badan."

"Sakit?"

"Pusing dikit." Kata gadis itu berpura-pura lemas pada Anta.

"Semoga cepat sembuh, Larissa!"

"Thanks, Mar."

"Ayo istirahat, biar nanti sore bisa jalan sama ayang!" Ara menarik tangan sahabatnya, kemudian senyum tipis terbit di wajahnya.

"Hati-hati di jalan!"

"Okai, Anta!"

Larissa merasa sedikit malu. "Ngapain, sih, pake bilang mau jalan sama ayang? Kan belum jadian!"

"Oh, jadi mau ditembak Altair?"

"Ya, mau." Kemudian ia terkekeh.

Siang hari selesai begitu saja. Larissa segera bersiap agar Altair tak menunggu terlalu lama. Hingga tahu-tahu ia sudah duduk di atas motor Altair.

"Mas Altair tau jalannya?"

"Enggak, kamu bisa baca map?"

"Bisa!"

"Oke, gas ngeng!"

Beberapa menit terlewati. Keduanya bercerita banyak hal, lampu jalan pun sepertinya tahu.

"Waktu itu aku lihat Mas Altair di lift, bareng temen."

"Oh, iya. Aku temani dia ketemu dosen. Sekarang dia lagi di Aussie."

"Temennya cantik, ya!"

Alatair diam sebentar sebelum menjawab.

Orbiting SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang