about the moon

9 2 1
                                    

Pagi sekali -bagi Larissa- gadis itu sudah siap dengan celana dan sandal andalannya. Jarinya mengetik di ponsel, meminta alamat yang akan didatanginya hari ini.

Berikutnya ia keluar, mengunci pintu kamar dan memesan ojek online, dengan dua porsi bubur ayam di dalam sterofoam Larissa berniat mengunjungi Altair yang jatuh sakit karena terkena hujan kemarin sore sekalian mengambil oleh-olehnya yang tidak sengaja dibawa oleh pria itu.

Tentu Larissa melakukan ini karena merasa bersalah, memangnya apa lagi?

"Ass -Permisi!" Gadis itu mengetuk tiga kali, seseorang menyambutnya dari ruang tengah.

"Nyari Altair."

Laki-laki yang bertanya tadi meminta Larissa menunggu, sementara ia masuk ke kamar bertuliskan angka dua. Larissa diam di ruang tengah, di balik meja pendek yang ada di sana.

Altair keluar dari kamar, kulit putihnya semakin pucat. Di kedua tangannya terdapat kantung kertas, pria itu masih saja menyengir.

Buru-buru Larissa bangkit untuk membantu Altair, alis bagian depannya sedikit terangkat sementara kedua sisi bibirnya turun.

"Biasa aja dong mukanya, ini cuman demam."

"Takutnya kamu sakit, takutnya kamu sakit! Ternyata sendirinya yang sakit!"

Setelah duduk, Larissa mengeluarkan dua bungkus bubur ayam yang tadi ia bawa, keduanya makan bersama dengan latar suara tukang parkir.

Sedikit percakapan yang memberikan Larissa informasi tambahan, bahwa Altair tak bisa terkena hujan terlalu lama.

"Kenapa nggak bilang, sih, Mas? 'Kan kita bisa neduh."

"Kamu mau main hujan 'kan? Setiap kali hujan jatuh ke atasmu, kamu selalu senyum. Memangnya siapa yang tega memudarkan senyum sehangat itu?" kata Altair santai.

Larissa terpaku, untuk sesaat matanya berbicara. "You are a man written by a woman."

"What does that mean?"

Larissa menggeleng sebagai respon. Sungguh, kalimat tadi keluar secara spontan.

Begitu sesi makan bubur selesai, Larissa langsung pamit. Katanya ingin mulai merapikan barang-barangnya agar tidak ada yang tertinggal. Altair mengangguk, mengantarkan Larissa ke teras dan menemani gadis itu menunggu ojek.

Altair ingin kembali beristirahat ketika senyum terbit di wajahnya. Pria itu paham maksud ucapan Larissa, ia amat mengerti. Namun, sesuatu mengganjal pikirannya, seseorang bernama Anta.

✧⁠*⁠。

Dua hari sebelum kepulangannya, Larissa mendapatkan notifikasi dari Altair yang mengajaknya ke toko buku. Gadis itu awalnya menolak, mengingat bahwa Altair baru saja sembuh dari sakitnya. Namun, di sinilah ia sekarang, duduk di teras sambil mengeratkan jaket rajut, menunggu pemuda bermata coklat gelap yang tadi pagi menghubunginya.

Angin di Sabtu malam terasa menusuk, Larissa sibuk menghadap ke atas menatap bulan yang sedang tersenyum, dan gadis itu ikut menipiskan bibirnya.

Sementara Altair sibuk memerhatikan jalan, sambil sesekali melirik ke spion, maka matanya menjadi semakin sipit karena tersenyum. "Bulannya cantik, ya?"

"Selalu, selalu cantik."

Keduanya sampai, tapi Altair terlihat tidak nyaman. "Mas Altair sakit? Kalo sakit kita pulang aja."

"Enggak." Pria itu menggeleng cepat. "Ayo, katanya ada diskon akhir tahun."

Keduannya berkeliling, Altair mengikuti gadis di depannya. Memerhatikan setiap lukisan dan perubahan raut wajah Larissa begitu menemukan beberapa buku yang menarik perhatiannya.

Di sudut baca, Larissa berhenti sebentar, lalu berbalik. Kepalanya sedikit miring, "Sebenernya Mas Altair nyari buku apa?"

Sementara pria penyuka grup musik coldplay itu terkekeh, "The moon is beautiful, isn't it?"

Larissa mengerjap. "Iya, cantik kayak biasanya."

Altair, tangan kanannya membawa buku yang tadi dia sembunyikan di belakang punggung. "Dibaca, ya!"

Dengan bingung Larissa menerima buku yang terangsur, tapi matanya berbinar. "Thanks, Mas!"

Setelah pulang Larissa langsung membaca buku yang ia dapatkan dengan tidak sabar. Hingga pada jam satu malam, gadis itu menelpon Altair.

"I thought, it was about the moon."

Di tempatnya Altair terkekeh. "No, it's about us."

"But, why me?"

Larissa tak mengerti, bukan begini seharusnya cerita berjalan. seharusnya Altair tak menyukainya dan seharusnya Larissa juga tidak boleh merasa nyaman. Larissa adalah gadis figuran -setidaknya itu yang dia pikirkan.

"Why do I refuse all the butterflies in my stomach when I can accept it? How can I not smile when I only see the light in you? Your eyes sparkling like fairy dust, and I don't mind inhaling those particles just to get close to you."

"Mas, you know it shouldn't be like this."

"It can be so complicated, but I will do my best anyway. So, may I give you all the stars, your majesty?"

Orbiting SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang