- ERLAN - 10

12 3 0
                                    

"Adakalahnya ego harus dikalahkan agar tak ada penyesalan kemudian."

- Someone -

***

19.00 PM

Erlan sedang duduk di kursi teras rumahnya. Rencananya Erlan mau menunggu papanya pulang. Ya ... tentu untuk membicarakan masalah bundanya.

"Kak Erlan," Edward duduk di kursi samping Erlan setelah berlari menembus pintu dari dalam rumah. "Bunda lagi di kamar, aman!" lapornya. Tadi, Erlan memang menyuruh Edward untuk memeriksa bundanya.

Sebuah mobil berhenti di depan gerbang rumah, membuat Erlan dengan segera berlari kecil ke arah gerbang dan membukakan gerbang itu untuk papanya.

"Malam, Pa!" sapa Erlan sambil tersenyum lebar saat mobil Erza melewatinya dengan kaca terbuka.

Dalam mobil, Erza mengernyit bingung. Tumben sekali anaknya itu mau membukakan gerbang untuknya? Biasanya juga ia sendiri yang membuka gerbang, atau paling tidak istrinya. Kalau Erlan pasti harus di paksa dulu, alasannya ya jelas 'mager'. Dan lagi, saat Erlan membukakan gerbang biasanya ia akan menampilkan wajah cemberut, bukan yang malah tersenyum cerah seperti saat ini.

"Kamu kesambet?" tanya Erza saat keluar dari mobil dan melihat Erlan yang masih tersenyum kepadanya.

Mendengar pertanyaan itu, Erlan jadi menghilangkan senyumannya, diganti dengan wajah cemberut. "Ck, bukan Erlan yang kesambet Pa, tapi Bunda!" decaknya.

Tangan Erza reflek menjitak kepala anaknya, membuat Erlan mengadu kesakitan-padahal ya nggak sakit sama sekali, orang dijitaknya pelan.

"Ngawur kamu!"

"Loh, beneran Pa!" Erlan menghadang Erza yang hendak berjalan ke pintu utama. "Papa di tempat kerja nggak pernah ngalamin hal yang aneh-aneh gitu?" tanya Erlan.

Kali ini Erza mengerti kemana arah pembicaraan anaknya, membuat wajahnya mengeruh. "Papa udah bilang sama kamu, nggak usah urusin hal kayak gitu!" ucapnya tajam.

Mendengus kesal, Erlan kembali berucap, "Kalau bukan karena Bunda juga Erlan nggak mau ngurusin hal gituan! Erlan juga capek, Pa!"

Setelah itu Erlan kembali melanjutkan, "Papa dengerin Erlan dulu. Bunda bener-bener bukan Bunda saat ini. Nama hantu itu Merah. Dia suka sama papa dan gangguin Bunda. Bahkan Erlan nggak bisa deket-deket Bunda lagi, natap mata Bunda aja badan Erlan langsung lemes dan muntah-muntah. Dan sekarang terserah papa, mau papa percaya sama Erlan atau nggak, tapi yang jelas Erlan udah ngasih tau papa!" jelas Erlan tanpa jeda sedikitpun.

Ia kemudian menghela napasnya kasar dan berlalu begitu saja meninggalkan Erza yang hanya terdiam di tempatnya. Ia memasuki rumah.

Erza yang melihat itu jadi ikut menghela napasnya. Ia bingung antara mau percaya atau tidak, tapi memang ia juga merasa ada sesuatu yang aneh dengan istrinya.

Menggelengkan kepala, ia memilih menghilangkan pikiran anehnya. "Semoga apa yang kamu katakan nggak bener, Lan," gumamnya. Kemudian Erza melangkah memasuku rumah.

Namun, saat pintu utama ia buka. Matanya membelalak, tak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini. Tas kerja yang tadinya ia jinjing di tangan kanan, jatuh ke lantai begitu saja.

"FRISKA! APA YANG KAMU LAKUKAN?!" teriaknya saat melihat istrinya sedang mencekik leher Erlan hingga tubuh Erlan terangkat ke atas.

"Mas Erza?!" kaget Friska sambil melepaskan cekalannya.

Brak

Tubuh Erlan jatuh ke lantai dengan sedikit keras, membuat Erlan terbatuk hebat, mencoba menghirup oksigen sebanyak-banyaknya.

ERLANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang