-JAYA SANGARA-
Sosok tersebut membuka sebuah portal, portal hitam yang membuat Ghani reflek menjerit.
"JANGAAAN!!" teriak Ghani seraya berlari menahan tangan sosok tersebut untuk mencegah melebarkan lingkaran portal.
Sosok itu tertawa lalu menghentikan kegiatannya.
"MUSUH KALIAN YANG SEBENARNYA ADALAH DIA! GHANI! Kalian tahu, kalian ada dimana?" tanya sosok itu
Kamandaka menggeleng, dia menyembunyikan Sangara ke belakang tubuhnya. Situasi agaknya akan membahayakan mereka.
"Kalian berada dalam lingkaran maut Ghani" ucap sosok itu
"DIAM!
RADEN! SANGARA! JANGAN DENGARKAN DIA! DIA IBLIS!" teriak Ghani
"DIAM GHANI! BIARKAN DIA BERBICARA!" teriak Kamandaka seraya menatap tajam Ghani.
"Anak manis, kamu tidak tahu siapa yang membunuh kakekmu?" tanya sosok itu pada Sangara
"Kakek? Kakek Zul?" tanya Sangara
"Benaar. Kakekmu sudah tewas dan pembunuhnya ada di sekitarmu, manis" ucap sosok itu
"Raka Ghani?" tanya Sangara seraya menatap Ghani dengan tatapan sendu, berharap itu semua tidak benar.
"Engkau berpikir aku yang pembunuhnya?" tanya Ghani dengan tatapan berkaca kaca.
"Apa kamu tahu siapa yang menculik adikmu?" tanya sosok itu
Sangara kembali menoleh ke sosok itu. "Sangara punya adik?" tanya Sangara yang di angguki sosok itu
"Benar. Adikmu adalah--"
"DIAM!!" ucapan sosok itu terpotong oleh serangan Ghani
Ghani berlutut di hadapan Kamandaka dimana di belakang Kamandaka ada Sangara yang Kamandaka amankan.
"Sangaraa, kamu percaya kan sama Raka?" tanya Ghani
Sangara terdiam. "Sangara percaya sama Raka" ucap Sangara yang membuat Kamandaka tidak habis pikir dan Ghani tersenyum lebar. Namun hanya bertahan sebentar sebelum Sangara menambah ucapannya.
"Tapi Raka harus ceritakan dimana Raka bertemu Sangara dan mengapa Sangara bisa mati!" seru Sangara yang ternyata sudah menggebu gebu hingga dadanya naik turun emosi.
Kamandaka menunduk mengusap pundak Sangara dengan halus, berharap Sangara dapat jauh lebih tenang.
Ghani menunduk dan memejamkan matanya.
"Rakaaa!" panggil Sangara
"RAKA!! DIMANA KELUARGA SANGARA?" teriak Sangara yang air matanya sudah menggenang di pelupuk mata.
"DIMANA RAKA??" cerca Sangara
"Hiks, kenapa Raka membunuh Kakek Zul...hwaaa"
Tangis Sangara pecah saat itu juga. Ghani berlutut menyejajari tinggi Sangara lalu memeluk Sangara.
Sangara terlalu kecil untuk mencerna semuanya. Sangara terlalu kecil untuk mengalami ini semua. Anak seumuran Sangara tidak harus hidup di hutan, tanpa bertemu seseorang selain Ghani selama bertahun tahun. Tak merasakan kasih sayang Ibu dan Ayah, karna di pisahkan secara paksa. Tak mengerti apa itu arti keluarga sesungguhnya. Bahagia Sangara itu terlalu sementara. Dia tidak tahu, mana keluarga aslinya.
"Hiks, S-sangara ingin bertemu Ibu di surga saja. Dunia benci Sangara ya Raka?" tanya Sangara
"Ibumu masih hidup" celetuk Ghani
Slash!
Brak!
Kamandaka melempar jurus ke Ghani hingga Ghani terlepas paksa pelukannya pada Sangara, dia terpental cukup jauh. Sosok Jin dan beberapa bala prajuritnya pun hanya menonton perseteruan dua pemuda itu.
"Kenapa menyerangku?" tanya Ghani
"KAU MASIH BERTANYA? CATAT DOSAMU INI! KAU MEMISAHKAN ANAK SEKECIL SANGARA DARI KELUARGANYA? KAU BAYANGKAN SEHANCUR APA IBUNYA!" teriak Kamandaka
"Bukan aku yang memisahkan Sangara dari orang tuanya!" elak Ghani
"LALU KENAPA KAU TAU KEADAAN IBU SANGARA TAPI KAU TAK MENGEMBALIKAN SANGARA PADA IBUNYA?!" teriak Kamandaka
"Cuih! KAU TIDAK TAHU APA APA KAMANDAKA! AKU TAHU MASA DEPAN!" teriak Ghani
"KAU HANYA TAU TAPI TAK MAMPU MERUBAHNYA!" ujar Kamandaka
"AKU BISA MERUBAHNYA!" seru Ghani
Suasana hening seketika. Langit menggelap dan suara petir terdengar menggelegar menghujam bumi yang mereka pijak.
"Walau pun kau bisa merubahnya, mungkin itu adalah bagian terkecil dari hidup Sangara. Garis besar takdir Sangara tidak bisa di ubah. Kapan dia lahir dan gugurpun tak dapat kau rubah. Ketahuilah, jika kau kembali hanya untuk bertemu dan mengembalikan sosok adikmu maka kau salah. Jangan kau pergi dan seenaknya merubah nasib seseorang hanya karna keinginanmu semata. Temui Ibumu dan tanyakan apa yang menjanggal di hatimu" ucap Kamandaka
CRAS!
"Argh..."
Kamandaka merintih kesakitan kala tangannya tergores sebilah pedang yang Ghani lemparkan.
"BEDEBAH!!" teriak Kamandaka lalu berlari seraya menghujam Ghani dengan serangan serangan.
"Berhenti! Raka!" teriak Sangara namun sama sekali tak di indahkan Ghani maupun Kamandaka.
Hingga tak lama kemudian, Jaka--Harimau putih kesayangan Sangara itu berlari memisahkan kedua pemuda yang tengah bertengkar itu. Cakaran yang tak sedikit yang di akibatkan oleh Jaka membuat Ghani dan Kamandaka berteriak kesakitan.
Sangara berjalan mendekat ke arah jin yang paling besar dan gagah. "Terima kasih Paman Jin berkat paman, Sangara tahu sifat asli Raka Ghani" ucap Sangara yang di angguki Jin tersebut.
"JANGAN PERCAYA! SANGARA!" teriak Ghani
"DIAM KAU GHANI!" balas Kamandaka
Jin itu tersenyum lalu menunjuk ke satu arah. "Selamatkan Raden Abikara, sebelum semuanya terlambat"
Sangara menyernyit. "Siapa itu, Paman?" tanya Sangara
"Kau akan tahu nanti, ikuti saja budak ku ini ke arah sana" ucap Jin tersebut seraya menujuk Jin lain yang sedari tadi berada di belakang Jin besar.
"Aku boleh membawa Jaka?" tanya Sangara seraya merangkul leher harimau besar di sampingnya.
"Iya bawa saja" jawab Jin tersebut
"HEI JIN! MENGAPA KAU MENGKHIANATIKU!" teriak Ghani
Jin yang merupakan ketua Jin daerah yang mereka tempati itu menoleh ke arah Ghani. "Sejak kapan aku ada di pihakmu? Selama ini akulah yang menjaga amanat Zulkifli yang menginginkanku menjaga Jaya Sangara dari kejauhan tanpa mengusiknya. Bertahun tahun ku biarkan engkau melakukan segala kelakuan biadabmu. Kau membunuh anak anak kecil tak berdosa, bahkan warga warga perkampungan yang sama sekali tak kau kenali. Kau iblis di belakang Sangara"
"AKU TIDAK SEPERTI ITU! SANGARA! DIA ITU IBLIS! JANGAN PERCAYA DIA! DIA HANYA PENGADU DOMBA!" teriak Ghani
Bersambung..
KAMU SEDANG MEMBACA
Jaya Sangara (Raden Kian Santang)
AçãoRaden Kian Santang ( Jaya Sangara) Lahirlah seorang anak yang akan mengubah kehidupan tata pasundan, ia seperti cahaya yang menyinari di kala kegelapan.Ia selalu membuat orang orang di sekitarnya terpana. Bukan bangsawan, itulah rasa j...