"Untuk apa pacaran kalau begini saja sudah nyaman?"
2.419 kata
"AYAH tidak ingat pernah memberimu perhiasan semacam itu."
Delapan lewat delapan belas. Masih cukup pagi untuk membubarkan diri dari ruang makan pasca sarapan. Dokyeom bilang dia ada kelas pukul satu, Jeonghan masih dua jam lagi. Ayah berangkat siang. Ibu sudah sibuk berkutat dengan pekerjaannya di belahan dunia lain setelah menyempatkan diri memberi ceramah pagi selama seperempat jam hanya untuk menahan anak sulungnya berangkat kuliah—dan kemenangan telak berada di tangan Jeonghan.
"Mingyu punya selera yang unik." Dokyeom menimpali. Pemuda mancung itu terkikik jahil ketika Jeonghan di seberang meja sana memasang tampang sedatar perut Joshua.
Mendengkus malas, Jeonghan balas tatap sang kepala keluarga yang rela mengabaikan sejenak tablet dalam genggaman demi menanti tanggapan―sepertinya beliau sungguh terpancing oleh perkataan Dokyeom. Lelaki muda itu angkat sejenak tangan kanannya yang memegang garpu. Gelang manik-manik berwarna hitam dengan sebuah manik berwarna putih berukuran lebih besar sebagai pusat melingkar apik di pergelangan kurus tersebut. "Ini bukan milikku. Seseorang menjatuhkannya. Karena tidak tahu kapan bertemu lagi, jadi kupikir dipakai saja agar bisa kalau bertemu bisa langsung kukembalikan."
"Jangan kuno, Kak. Teknologi sudah di tangan. Kakak hubungi kalau ada kontak atau cari saja dia kalau Kakak memang niat. Sekarang juga ada yang namanya media sosial. Tinggal foto, unggah dan sebarkan lalu tunggu seseorang mengonfirmasi. Semudah itu zaman modern," pungkas Dokyeom. Anak itu sedang menikmati roti kesekian sambil cengar-cengir.
"Manusia primitif yang kuno ini sangat berterima kasih atas pencerahan yang anda berikan, Tuan dari zaman modern," ujar Jeonghan dilengkapi penekanan di bagian akhir; terdengar santai dengan senyum tipis dan Dokyeom menggangguk-anggukan kepala―merasa tersanjung.
Sebagai penonton, ayah tertawa tanpa suara seraya menggelengkan kepala. Beliau letakkan gawai juga lepas kacamata di wajah sebelum mengadahkan tangan ke arah si sulung. "Coba Ayah lihat."
Jeonghan serahkan benda tersebut setelah cukup memakan waktu membuka simpul yang ia buat sendiri; harus diikat secara manual agar bisa pas di tangan. "Ini batu giok asli. Pasti warisan turun-temurun," tukas ayah, masih asyik memperhatikan. "Apa pemiliknya ini sudah berumur?"
Gelengan sangsi Jeonghan berikan di tengah kunyahan yang makin pelan. Bayang-bayang lelaki berkulit pucat dengan bibir semerah buah ceri di atas kue tart itu kembali hadir dalam benak. Jeonghan sejenak merasa jantungnya berdebar sedikit lebih cepat. Apakah ini efek obat yang ia minum tadi? "Mungkin sebaya atau sedikit lebih tua dariku."
Benda tersebut milik seseorang yang tempo hari pernah menolong sulung Yoon. Sedikit cerita, sosok beralis tebal itu langsung pergi bahkan tanpa memberi Jeonghan―yang malah berdiri konyol seperti orang tolol―kesempatan berterima kasih dan mendapati gelang tersebut tergeletak di ujung sepatunya. Kemungkinan besar, tidak sengaja terlepas dan jatuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
the beginning | jeongcheol [slow]
Fanfictionsi alis tebal bermuka lempeng dengan aura misterius itu namanya seungcheol. choi seungcheol. --- semesta merestui pengajuan ikatan mati pada benang merah yang mengikat nadi. namun, semesta juga bisa marah ketika itikad baiknya dikhianati. jeonghan...