"Seperti binatang. Apa kalian tidak malu?"
2395 kata
MASIH pukul delapan di Minggu pagi yang cerah dan Jeonghan secara tidak biasa sudah rapi dengan pakaian kasualnya. Pemuda itu bukan pribadi pemalas, tidak pula sosok yang rajin di hari libur: kadang tidur sampai siang dan paling cepat jam sembilan baru absen ke lantai dasar. Dokyeom lewat, tepat ketika Jeonghan membuka pintu dan yang lebih muda tatap kakaknya keheranan. "Kau mau pergi?"
"Hm."
"Penampilanmu tidak seperti orang yang hendak lari pagi."
"Siapa juga yang mau lari pagi?"
Dokyeom mendengkus samar. "Aku dan paman hendak memancing. Baru saja ingin mengajakmu juga, tapi sepertinya sudah tidak bisa."
"Kukira kau tidak suka kegiatan membosankan seperti itu," balas Jeonghan.
"Sekali-sekali. Lagi pula, pasti tidak sepenuhnya memancing seharian, kan?"
Jeonghan menggendik bahu. Keduanya turun bersamaan menuju lantai bawah. Beberapa pelayan tengah membersihkan rumah dan membungkuk sekilas pada dua tuan muda mereka. Bibi Shim menghampiri menyarankan mereka menuju ruang makan. Di sana sudah ada Paman Ilseong yang sedang sarapan dan seorang tak asing ikut duduk di sebelahnya.
"Selamat pagi, para pangeran," sapa Paman Ilseong.
Oh Sehun dan senyuman manisnya pun tak ketinggalan menyapa. Lelaki tersebut tampak lebih manusiawi dengan pakaian santai yang tetap memancarkan aura mahal dari sekujur badan. "Selamat pagi, Jeonghan, Dokyeom. Maafkan ketidaksopananku menikmati sarapan sebelum tuan rumah hadir di meja makan."
Dokyeom tertawa keras dan menarik kursi di samping Sehun. "Ini rumah biasa, bukan istana. Nikmati sarapanmu. Sepertinya enak, aku jadi ingin mencicipnya juga," ujarnya, secara otomatis membuat beberapa pelayan bergerak guna penuhi permintaan sang pangeran bungsu.
"Jeonghan tidak ikut sarapan?"
Teguran Paman Ilseong ditanggapi yang bersangkutan dengan gelengan pelan. Ia menyelesaikan percakapan singkatnya dengan Bibi Shim barulah menjawab, "Aku ada janji. Aku sarapan di perjalanan saja."
"Sepagi ini?" tanya paman dan Jeonghan benarkan lewat dengungan. Paman mendehem panjang. "Bukankah lebih baik kau duduk dulu bersama kami sambil memakan sarapanmu? Tidak akan lama, mungkin lima atau sepuluh menit?"
Yoon Jeonghan merutuki paginya yang cukup merepotkan. Terlebih ketika tiga laki-laki di sana lemparkan sorot serupa―seakan menuntut dia dengan perkara yang sama. Namun, ia sudah cukup terlatih untuk senantiasa pasang wajah tenang dan damai dalam menghadapi berbagai situasi. "Aku juga berharap demikian. Namun, seseorang sudah menungguku dan aku tidak enak hati membuatnya menunggu lebih lama." Bertepatan dengan usainya kalimat yang ia lontarkan, Bibi Shim datang membawa tas kain berisikan kotak bekal. Jeonghan kembali pasang senyumnya dan berucap, "Sekali lagi aku mohon maaf. Aku pergi dulu, Paman, Sehun."
KAMU SEDANG MEMBACA
the beginning | jeongcheol [slow]
Fanfictionsi alis tebal bermuka lempeng dengan aura misterius itu namanya seungcheol. choi seungcheol. --- semesta merestui pengajuan ikatan mati pada benang merah yang mengikat nadi. namun, semesta juga bisa marah ketika itikad baiknya dikhianati. jeonghan...