"Pasien atas nama Doyoung kritis, mohon Ibu tunggu diluar dulu."
Dari kejauhan jelas sekali Amora mendengar kata perkata yang Suster ucapkan. Ia menoleh pada lelaki yang berdiri dibelakangnya, yang tengah mendorong kursi roda yang ia naiki. Matanya menahan tangis dan dengan lengkungan kebawah pada bibirnya. Seakan mengatakan 'gimana ini?' Pada lelaki yang menatapnya iba itu.
Jeongwoo atau Sahabat yang paling dekat dengan Amora itu menaruh tangannya mengelus bahu sahabat masa kecilnya. Meskipun ia tau itu tidak meringankan pikiran-pikiran membludak diotaknya tapi ia berharap Amora-nya tenang.
Jeongwoo pun mendekat pada sisi kiri Amora dan berjongkok dihadapan gadis itu. "Mau balik ke ruangan aja ya?" Tanya nya lembut.
Kondisi Amora jauh dari kata baik. Banyaknya perban yang melilit disekujur tubuhnya jujur membuat Jeongwoo ngeri. Namun gadis ini sangat keras kepala. Kekeuh saja mau melihat Doyoung katanya.
Lagi, Amora menggeleng ribut dengan air matanya yang mengalir. Demi apapun Amora sangat menyesali telah mengajak Doyoung keluar waktu itu. Jika waktu itu---- ah Amora benar-benar menyalahkan dirinya atas kejadian yang dia bahkan tidak tau bakal terjadi.
"Hei.." Jeongwoo mengelus surai gadis itu dengan lembut. "Jangan nangis." Ia mengusap air mata gadis itu yang terus keluar.
"Mau ketemu Doyoung..." Lirih Amora.
"Iya ini kan mau ketemu. Jangan nangis ya." Jeongwoo tersenyum menenangkan Amora. Ia pun berdiri dan kembali pada posisi semulanya, mendorong kursi roda Amora, mendekat pada kerumunan keluarga Doyoung yang berkumpul didepan pintu ruangan inap Doyoung.
Perbedaan sangat dirasa Amora saat tiba bergabung dengan keluarga Doyoung, biasanya gadis itu selalu disambut dengan hangat, sangat hangat. Bahkan sampai Jeongwoo tidak perlu khawatir takut Amora tidak diterima kehadirannya, kini Jeongwoo sendiri pun bisa merasakan perbedaan yang sangat jauh itu.
Tidak ada yang menyambut Amora, ataupun menghampiri dan menanyakan keadaan gadis itu. Ibu, Ayah bahkan Tante Doyoung dan Suaminya sekalipun yang biasanya sangat ramah padanya, kini mereka membuang muka dan menghiraukan kehadirannya.
"Ma.. Doyoung.. gimana?" Amora mencoba memahami situasi. Ia bertanya dengan hati-hati pada Ibunya Doyoung yang memintanya untuk memanggil dirinya Mama.
"Peduli apa kamu?" Yang didapat Amora adalah jawaban dengan nada ketus itu.
Jeongwoo mendengarnya ikut sakit hati. Namun ia menahannya. Ia menahan amarahnya agar tidak mempermalukan Amora.
"Ma.." Amora mencoba meraih lengan Ibunya Doyoung. Namun Ibu Doyoung menepis kasar lengan Amora.
"Awshhh..." Ia meringis merasakan perih pada lukanya yang masih basah dalam balutan perban itu.
"Mor?" Jeongwoo memiringkan kepalanya mendekat pada Amora. "Gak papa?" Sejujurnya Amora menahan tangis, dan Jeongwoo sangat menyadari hal itu.
"Balik ke kamer lo aja ya? Gue mohon nurut sama gue."
Namun Amora keras kepala. Gadis itu memilih tetap disana sampai Dokter keluar dari ruangan Doyoung. Orang disana langsung menghampirinya, termasuk Amora yang meminta Jeongwoo untuk mendorong kursi rodanya medekat pada Dokter.
"Gimana anak saya dok?" Tanya Ayah Doyoung.
"Sabar ya pak. Masa kritis pasien sudah lewat namun ia masih belum juga sadar. Kita tunggu pasien sadar dulu ya." Dokter menepuk bahu Ayah Doyoung sebelum pergi dari sana.
"Woo.." Cicit Amora membuat Jeongwoo mendekat padanya. "Hm?" Sahut Jeongwoo.
"Gue mau balik keruangan.."
KAMU SEDANG MEMBACA
please, don't forget me | kim doyoung treasure
Teen Fiction"Gak papa. Kamu harus terbiasa. Aku bakal ngejar kamu terus sampe kamu inget aku." (Amora Hussein) Kisah Amora yang merjuangin pacar Amnesianya.