Rasanya ini bukan kali pertama aku merasakan keraguan atas harapan harapanku. Novel-novel yang aku baca mengisahkan sosok yang inspiratif dimana aku ingin menjalani hidup sama persis seperti yang dialami sang pemeran utama penuh dengan kebahagiaan. Tetapi hidup itu adil dan seimbang. Setiap kebahagiaan akan selalu digiring oleh kesedihan. 1 : 4 adalah perbandingan antara kebahagiaan dan kesedihan. Itulah mengapa manusia di bumi ini lebih sering meneteskan air mata kesedihan ketimbang air mata kebahagiaan.
Aku tersenyum kecut. Terkadang berpikir bahwa hidup itu tidak adil. Alam yang tidak pernah mendukung harapanku. Semesta yang kerap mempermainkan ku. Dan takdir selalu bertentangan dengan harapan. Lantas kenapa aku masih harus berharap?
Aku muak. Muak menunggu semesta berpihak padaku. Muak berharap takdir kunjung membaik dan memberiku setitik senyuman. Mereka pikir aku manusia kufur yang tak pandai bersyukur. Untuk kesekian kalinya, aku tersenyum kecut. Jika ada hal yang patut aku syukuri, apa?
Kekuranganku? Atau Ayah yang tidak menyayangiku? Atau kepergian bunda saat menyelamatkan nyawa yang tidak berharga ini?
Aku membuang napas kasar. Memikirkan betapa mirisnya kehidupan membuatku muak.
"Sya, jangan melamun! Udah ada Pak Sam!"
Bisikkan dari Sanny--teman sebangkuku--mengembalikkan aku ke dunia nyata.
Benar saja Pak Sam sedang berjalan menuju meja guru. Kata dia akan ada ulangan besok jadi pelajaran kali ini hanya akan diisi oleh beberapa latihan soal.
Benar-benar membosankan untuk murid yang berotak di bawah standar seperti aku. Hanya dengan lirikkan saja rasanya otakku sudah tidak sanggup untuk berpikir. Hanya sesuai keinginanku, aku mengisi lembar jawaban tanpa banyak waktu dan menyerahkan pada Pak Sam. Sejenak guru itu menatap tidak yakin pada lembar jawabanku tetapi dia tidak berkomentar apa-apa mungkin sudah capek menasehatiku hanya akan buang-buang waktu dan tenaga.
Pukul 2 sore bel pulang berbunyi. Aku segera mengemasi buku dan alat tulis lainnya dan bergegas menuju halte. Jarak ke rumah tidak begitu jauh. Menghabiskan waktu 10 menit untuk sampai.
Seperti biasa rumah ini sepi seperti tidak ada nyawa yang berlindung di dalamnya. Aku memasuki kamar dengan gontai. Segera berganti pakaian dan menonton drama yang tengah ramai di perbincangkan di kalangan anak muda, bad prosecutor.
"ASYA KE SINI KAMU!! CEPETAN!!!"
Aku terkesiap dengar teriakan Ayah. Dengan gerakan cepat aku melempar ponselku dan berlari menghampiri tua bangka itu.
"Sekarang saya lepas tanggung jawab atas hidup kamu. Terserah kamu mau mati sekalipun, saya sudah tidak peduli. Lagipula kamu sudah 18 tahun. Bisa mencari uang sendiri, kan?"
Aku tersenyum sinis, "Lepas tanggung jawab?"
"Ya."
"Mulai detik ini saya tidak akan memikirkan kehidupan kamu lagi! Terserah mau ngapain kamu di luar sana!"
Aku termenung, mencerna omongan pak tua di depanku.
"Boleh tinggal di sini tetapi hanya boleh numpang tidur! Saya masih punya hati untuk tidak membuang kamu ke jalanan!"
Pak tua pergi ke kamarnya setelah mengatakan itu. Sementara aku kembali masuk ke kamar dengan pikiran kacau dan kalut. Alam semesta memang senang mengujiku. Aku membuang napas kasar sebelum melemparkan diri ke atas kasur.
Pak tua itu benar-benar.... aku memejamkan mata sejenak untuk menahan emosiku agar tidak menguar kemana-mana.
Semuanya akan baik-baik saja...
Oke, semuanya akan baik-baik saja.."Bunda..." lirihku sebelum benar-benar hilang kesadaran.
Jangan salah paham aku tidur karena kelelahan memikirkan nasib bukan mati. Jadi besok saat mata ini kembali terbuka aku akan memikirkan kelanjutan hidup ini.
Lebih baik aku tidur, me-istirahatkan otakku supaya bisa mikir lebih, lebih dan lebih jernih untuk besok.
¤¤¤
Hari baru. Beban baru.
Itu lebih baik ketimbang, hari baru beban bertambah satu. Sayangnya pilihan pertama memang bukan untuk aku. Masalah yang kemarin juga belum ada solusi, masalah baru sudah mulai menghantui. Mungkin aku di lahirkan hanya untuk menikmati beraneka macam masalah.Aku mengemasi baju seragam sekolah. Setelah dipikir-pikir aku tidak melanjutkan sekolah dan memilih fokus untuk bekerja. Lagipula aku sudah malas ke tempat yang namanya sekolah. Sudah bukan tempatku lagi.
Ternyata mereka sudah memulai sarapan. Melihat Ayah, dan ibu tiriku beserta Anja--adik tiriku--sedang di meja makan segera aku menghampiri mereka bermaksud bergabung.
"Ngapain kamu ke sini?" hardikan dari Ayah menghentikan aku yang akan menyedok nasi.
"Makan," cicitku sangat pelan.
Senyuman sinis tersungging dari bibir Pak Tua, "Tidak ada makan-makan untuk kamu! Kamu lupa pembicaraan kita kemarin? Saya sudah lepas tanggung jawab untuk semua kebutuhan mu, anak haram! Pergi jangan merusak acara makan keluarga saya!"
Aku melirik ibu tiriku dan ayah bergantian.
"Mas, biarkan Asya makan. Kasian dia pasti lapar," kata ibu tiri.
"Ayo, Asya jangan dengarkan ayah kamu. Duduk, Nak!" Tangan Tante Indri-ibu tiriku-bersiap memindahkan secentong nasi ke piring ku sebelum teriakan ayah mengintrupsi.
"SAYA BILANG KAMU PERGI! SAYA SUDAH MUAK MELIHAT KEBERADAAN KAMU DI DEPAN SAYA, ANAK HARAM! DAN KAMU INDRI JANGAN MEMBELA DIA TERUS! KAMU HANYA MAMA TIRI!"
Tanpa menunggu teriakan kedua aku berlari ke kamar, menumpahkan kekesalanku pagi ini. Mataku menengadah kala cairan bening sudah berada di ujung pelupuk mata.
Tidak. Wanita kuat tidak menangis! Wanita kuat harus terus kuat!
Udara aku hirup dalam-dalam dan membuangnya perlahan. Terbukti sekarang aku sudah membaik. Tidak seemosional seperti tadi.
Perkataan Pak Tua itu tidak main-main. Memang benar aku anak kandungnya tapi perlakuannya tidak mencerminkan ayah kandung kepada anaknya.
Sikap semena-menanya semakin menjadi setelah Bunda tiada. Aku hampir kelabakan memikirkan nasib menyedihkan bersama ayah sepertinya.
Aku mengambil foto Bunda yang tengah tersenyum merangkulku. Ini diambil waktu kelulusan SMP-ku.
Sebelum kejadian mengenaskan terjadi. Seharusnya aku yang mati bukan Bunda. Seharusnya dia tetap di dalam mobil melihatku terlindas truk waktu itu. Seharusnya dia tidak menyelamatkanku! Dan seharusnya aku tidak menyebrang waktu itu. Seharusnya... seharusnya aku yang mati bukan Bunda!!!
Suara ketukan sebelum pintu terbuka terdengar. Aku menoleh melihat siapa yang datang, yang ternyata Indri.
"Ngapain anda ke sini?" tanyaku tidak suka.
Dia tersenyum dan ikut berjongkok di atas lantai, "Mama bawain makanan buat kamu. Kamu pasti lapar kan?"
Aku melirik pada nampan yang berisi nasi goreng beserta telor mata sapi dan segelas susu coklat.
"Saya gak lapar," kataku memalingkan muka. Bohong kalau aku tidak lapar. Perutku seketika berbunyi kala mencium aroma nasi goreng hangat menguar, mungkin dia sengaja menghangatkannya untukku?
"Yakin?" Masih dengan senyuman dia menaruh nampan di sampingku, "Makan ya. Jangan sampai kamu tidak makan."
Aku melihat kepergian Tante Indri dengan muka sendu. Kenapa dia masih baik padahal sudah aku kasari? Pencitraan itu harus nya sudah usai setelah ayah benar-benar mengacuhkan aku kan?
Aku menggeleng. Tidak habis pikir dengan pikiran orang jahat seperti Indri.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERGI
Short StoryPutus sekolah, dipecat sebagai anak, lalu di vonis jantung koroner. Banyak sekali rintangan hidup di usia 18 tahun. Akankah sang pemeran utama hidup bahagia di penghujung cerita? Kalian percaya 'Setelah gelap terbitlah terang' setelah badai akan ada...