Hari Baru Beban Tambah Satu

144 6 0
                                    

Kalian percaya kalau kebahagiaan akan terbit setelah ribuan kesedihan menyiksa?

Kalau dipaksa harus percaya maka aku akan mencoba percaya untuk kesekian kalinya. Nyatanya hidup ku selalu diisi oleh hal-hal pahit tanpa ada setitik kebahagiaan yang membuat bibir ini tersenyum.

Aku paham, kalau Tuhan itu maha adil. Tidak ada yang sempurna di muka bumi ini sekalipun dia manusia terhebat. Aku juga yakin pasti setiap kelebihan selalu ada kekurangan yang membuat orang tidak sadar begitu beharga dirinya.

Sampai saat ini, aku masih meyakinkan kalau besok aku bisa  tersenyum. Akan ada hal-hal menyenangkan yang sulit untuk dilupakan.

Ternyata benar saja, hari ini di depan ruang laboratorium. Bibir ini tersenyum. Bukan senyuman bahagia seperti yang aku harapkan melainkan senyuman getir yang tidak bisa aku jabarkan betapa terpukulnya mental ini.

Dengan mata berkaca aku membaca tulisan yang menyatakan aku positif terkena penyakit jantung koroner. Terdapat penyempitan di dalam pembuluh darah. Bukan hanya satu pembuluh tetapi sampai 3 pembuluh darah. Dan tidak memungkinkan untuk melakukan operasi ring jantung. Dokter bilang aku harus menyiapkan uang setidaknya 400 juta untuk biaya operasi bypass jantung.

Aku menghalau cairan bening agar tidak jatuh dari mataku. Sebisa mungkin aku berdiri tegar berjalan ke luar rumah sakit.

Ternyata hidup terlalu sulit dilalui untuk gadis malang yang di buang keluarga. Bahkan untuk makan besok pun aku sering kebingungan, apalagi ini uang 400 juta. Bagaimana aku harus mendapatkan uang dalam kurun waktu 2 bulan?

"Maaf ya mbak aku baru dateng," kataku begitu melihat mbak Sulis yang tengah menyapu lantai.

Mbak Sulis menoleh lalu tersenyum, "Ya gapapa toh, mbak. Jadi bagaimana hasilnya?"

Aku tersenyum kecut.

"Penyakit Jantung, mbak."

Sudah 2 bulan lebih laundry ini menjadi sumber rezeki ku. Bahkan sekarang aku sudah mengenal  langganan yang menyimpan pakaian untuk di cuci.

Mataku melirik sekilas ke seberang, ke arah kedai es tempat Andra bekerja. Sekarang dia tengah menyiapkan mesin pembuat es. Bibirku terangkat sebentar sebelum cowok tengil itu menoleh dan melemparkan tatapan menggoda seperti biasanya.

"Mbak Asyayang!!!"

Tuhkan. Belum aku beranjak dari tempatku cowok tengil itu sudah berteriak.

"Sarangbeooo..."

Bibirku berkedut melihat muka tengilnya. Kedua tangannya diangkat tinggi membentuk love dan diarahkan padaku.

"Ciee... Ada yang udah jadian kayaknya," goda mbak Sulis.

"Apaan sih, mbak," aku tertawa kecil. Sampai saat ini hubungan kita belum sejauh itu. Hanya sebatas teman tapi dekat mungkin iya.

"Apa Andra belum nembak mba ya?" todong mba Sulis menunjuk muka ku dengan muka menggoda.

"Kalau belum ngasih kejelasan tinggalin aja deh mba. Nanti saya kenalin sama cowok ganteng, mau iya?"

"Eeehh gak bisa gitu dong mba Sulis. Gak boleh jodoh-jodohin orang sembarangan ya," serobot Andra cepat. Entah sejak kapan dia sudah berdiri di dekat pengering.

"Jodoh itu di tangan Tuhan bukan di tangan mbak Sulis," seloroh Andra membuat orang yang bersangkutan cemburut.

"Dari pada situ sampe sekarang gak ada kejelasan," sindir mbak Sulis tak mau kalah. "Kita perempuan juga butuh kepastian kan, ya mbak?" Kini mba Sulis menatapku meminta dukungan. Sementara aku hanya melemparkan kekehan singkat. Kalau mengiyakan nanti aku di sangka cewek tidak sabaran lagi. Atau lebih buruk lagi Andra akan mengira aku cewek murahan yang haus akan kepastian.

Kebersamaan selama tiga bulan bersama mereka sudah tidak ragu lagi untuk melempar guyonan. Saling canda dan tertawa bareng. Walaupun sangat jarang aku tertawa lepas seperti mba Sulia maupun Andra. Namun, tanpa sadar mereka telah mewarnai hari-hariku.

Tanpa sadar, mereka telah memberi jejak kebahagiaan pada ku. Dengan kehadiran mereka aku sadar kalau punya teman bisa semenyenangkan ini.

Aku meringis kala dadaku nyeri bukan main, seperti di tekan dengan benda tumpul. Sangat menyiksa. Ternyata gejala-gejala yang aku alami selama ini berujung fatal. Aku terlalu menganggapnya remeh sampai terlambat mengalami penanganan khusus.

"Mba Asya, kenapa?" Andra yang pertama menyadari gerak-gerikku bertanya di susul dengan mba Sulis yang merangkulku khawatir.

"Gapapa kok," Sebisa mungkin aku tersenyum menahan rasa panas yang sekarang sudah menjalar ke punggung.

"Aku ke kamar mandi sebentar ya,"

"Mba, pucat sekali apa mau pulang aja?" tawar mba Sulis di angguki Andra.

"Biar saya antar ya, mba?" sahut Andra.

"Gak perlu. Aku hanya kebelet pipis kok,"

Meninggalkan muka khawatir mereka. Aku tersenyum tipis. Ternyata begini rasanya dikhawatirkan orang lain. Aku merasa menjadi manusia berharga. Kalau sudah begini rasanya ingin hidup lebih lamaaa lagi. Namun, apa mungkin di saat jantungku sudah memberi sinyal kalau dia sudah lelah memompa darahku? Aku memang manusia tidak tau diri. Tetapi apa boleh aku bisa merasakan kebahagiaan lebih lama lagi, Tuhan, walau itu candaan dan tawaan dari mereka?

Dari balik pintu kamar mandi aku memperhatikan muka mba Sulis dan Andra tidak seceria tadi. Dia nampak sedikit murung dan terlihat cemas.

"Mba, beneran gapapa?" tanya Andra begitu aku keluar dari kamar mandi.

Aku tersenyum tipis, "Gapapa kok."

"Kok, mukanya masih pucet. Mau saya belikan obat?"

"Gak usah Andra, lagian nanti juga pucetnya ilang kok setelah aku minum es buatan kamu?" Aku geli sendiri mendengar perkataanku barusan.

"Yaudah aku minum ya es nya,"

Oh aku juga belum ngasih tau ya ke kalian kalau setiap hari Rabu dan Sabtu dia akan memberiku es secara cuma-cuma. Sengaja kedua hari itu karena Rabu hari kelahirannya sedangkan Sabtu hari kelahiranku. Memang aneh sekali dia.

"Oh iya mba, nanti malam ada pasar malem kita kesana yuk!" aku meletakkan cup es yang tinggal setengah di atas meja lalu menatap Andra, "Oh ya?" tanyaku.

"Hooh. Di tanah merah dekat Indomaret ituloh," katanya semangat.

"Boleh deh,"

Menolak ajakan Andra membuatku tidak tega apalagi setelah melihat kilatan kebahagiaan di mata cowok itu. Walau aku tau konsekuensi yang harus di dapat dari Pak Tua nanti.

"Tapi jangan malem-malem ya pulangnya," tawarku.

"Maunya jam berapa emang?"

"Jam 10?" aju ku memunggu persetujuan Andra.

"Deal!"

¤¤¤

Fun Fact dari cerita ini :

1. Tokoh mba Sulis di sini beneran ada alias nyata. Dan dia beneran kerja di tempat laundry-an bareng author---walau cuman 4 hari aja si wakakkaa--

2. Di sebrang Laundry-an memang ada yang jualan es dan penjualnya cowok muda kalo gak salah dia itu sering pake topi ya! Dan tokoh Andra di sini author ambil dari dia ya. Wakakkaa walau author sendiri gak tau namanya siapa hihihihi.

3. Pasar malem memang ada di tanah merah dekat indomaret! Dan itu dekat kontrakan saya.

4. Terusssssss yang terakhir, yang punya Laundryan memang pulkam buat jagain anaknya yang kesempret truk. Dan dia memang amnesia.

Jadi termakasih kalian sudah menjadi inspirasi ku ya🙏😁 selebihnya ini fiksi kok real karya khayalan saya sendiri.

Okedeh segitu duluu bye bye!!!
Kalau ada fun fack lagi nanti author bakal catet di akhir yaaa!! Hihihiw

Gomawoyo :*

PERGITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang