2 Cambukan yang Terlewat

204 7 0
                                    

Setelah seharian bekerja rasanya tidak ada tenaga untuk ngapa-ngapain lain. Terutama kalau harus beradu mulut dengan pak tua. Lihat saja bahkan sekarang pak tua tengah bersidekap di depan pintu rumah.

"Bagus." Pak tua melirik jam tangan nya, "Jam 08.40 dan kamu baru pulang!"

Aku menghembuskan napas pelan lalu menatap pak tua yang tengah menyorot ku dengan tajam.

"Saya capek habis berkerja dan tidak punya waktu untuk meladeni anda."

Aku berjalan melewatinya tidak memperdulikan tatapan tajamnya seolah menusuk punggung ku. Yang aku inginkan sekarang adalah membersihkan diri dan membaringkan tubuh di atas kasur. Namun, sayangnya, pak tua tidak membiarkan aku begitu saja.

"Begitu sikap kamu sama saya hah? Sangat tidak sopan!" hardiknya. "Sini kamu!"

Aku memutar bola mata dan membalikkan badan, "Terus saya harus bagaimana?"

"Perusahaan mana yang mau merekrut karyawan yang SMA aja gak lulus seperti kamu?"

Mataku menyipit melihat tawa ejekan yang keluar dari mulut tua bangka itu. Rasanya begini direndahkan karena pendidikan. Memuakkan dan mengesalkan.

"Kalau mau membahas soal pekerjaan saya tidak punya waktu. Apalagi anda lebih tau kenapa saya tidak menamatkan sekolah, bukan?" Aku tersenyum miring, "oh begini rasanya di rendahkan sama orang yang tidak bertanggung jawab ya,"

"Apa katamu?!" Adrenalin ku terasa tertantang melihat kemarahan pak tua.

"Loh kenapa anda harus marah? Bukannya saya berkata fakta?"

"Jaga ucapan kamu!"

"Harusnya anda yang menjaga ucapan bukan saya!"

Pak tua tertawa. "Mentang-mentang sudah bisa menghasilkan uang begitu cara bicara sama orang tua, hah?"

Pak tua mulai melepaskan sabuknya. Aku yang mengerti apa yang akan dia lakukan segera berlari sekuat tenaga menuju kamarku yang berada di lantai dua.

Aku menyeringai begitu tinggal beberapa tangga lagi sampai. Aku yakin gumpalan lemak di perut tua bangka itu akan menghalangi langkahnya sehingga dia tidak akan mampu menyaingi langkah cepat aku. Aku yakin dia sudah tertinggal jauh.

"Asya!"

Prat!!!

Aku meringis begitu cambukan mengenai lenganku. Tanpa menoleh aku mempercepat langkahku bahkan tak segan aku melewati dua tangga sekaligus. Aku salah ternyata, pak tua yang seperti kesetanan itu sudah sangat dekat denganku.

Namun, aku tidak akan membiarkan satu cambukan lagi mendarat di tubuhku.

Brak!

Pintu kamar aku tutup rapat-rapat tidak lupa juga menguncinya. Sekarang aku bisa bernapas lega.

"ASYA BUKA PINTUNYA SEKARANG JUGA!"

Gedoran pintu yang menghasilkan sedikit guncangan tidak membuat aku bergerak sedikitpun. Aku masih menyenderkan punggung di pintu. Menstabilkan napas ku yang terasa sangat berat.

Argh!

Tubuhku ambruk. Rasanya seluruh badanku sangat lemas. Terutama kaki yang tidak mampu menopang beban tubuhku. Aku melenguh begitu rasa nyeri menjalar di area dadaku. Akhir-akhir ini kerap dadaku sebelah kiri sakit, nyeri atau merasa ditekan dengan benda tumpul.

Teriakan tua bangka sudah tidak terdengar mungkin sadar kelakuan gilanya akan sia-sia. Bagaimana pun tikus tidak akan menyerahkan diri kepada sang kucing yang tengah kelaparan, bukan?

Aku meraba tas untuk mencari botol minum berharap rasa nyeri di dadaku berangsur pulih setelah menegak sebotol air.

"Asya kamu sudah tidur, nak?"

PERGITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang