"Ini rumah kamu?"
Andra melihat bangunan di hadapannya dengan mata kagum bercampur kaget. Aku tidak tau apa yang ada di pikirannya saat ini. Lahipula ini kali pertama Andra datang ke rumah ku.
"Iya," jawabku."Mau mampir dulu?" tawarku padanya yang masih enggan mengalihkan pandangannya. Aku terkekeh. Dari sorot matanya aku bisa membaca keanehan seorang pegawai laundry bisa tinggal di rumah seluas ini? Andai Andra tahu bahwa hidupku sangat pahit.
"Eum, lain kali aja ya aku mampir. Sekarang udah malem banget gak enak kalo main ke rumah cewek,"
Aku mengangguk mendengar argumen Andra. Lagipula aku tidak yakin dia akan di sambut baik oleh ayah. Pak Tua itu sangat sulit menerima orang baru.
"Yaudah aku pulang ya,"
Aku mengangguk sembari tersenyum tipis, "Hati-hati ya,"
Dalam hati aku bersyukur Andra langsung pulang. Tidak bisa membayangkan dia akan mendapatkan hardikan dari Pak Tua. Hampir bayangan Andra hilang di belokan depan, aku segera memanggil cowok itu.
"Andra!"
Bibirku kian merekah kala Andra berbalik. Dari kejauhan aku bisa melihat kedua alisnya naik sembari tersenyum jenaka.
"Iya pacar, kenapa?" teriaknya.
Fakta baru setelah 18 tahun akhirnya aku punya pacar.
"Makasih ya!" Teriakku. Hari ini begitu banyak kenangan indah yang Andra berikan padaku.
"Buat apa?"
"Sudah ngajak aku ke pasar malam!"
Dari sana Andra mengangguk, "Iya. Kalau kamu senang besok kita kesana lagi, iya?"
Ajakannya tidak terlalu buruk. Kemudian aku mengangguk setuju di sambut senyuman lebar dari Andra.
"Yaudah sekarang kamu masuk, di luar dingin," perintahnya. "Selamat malam, Asyayang!!"
Baru saja aku berbalik tiba-tiba dadaku kambuh. Rasa nyeri yang dahsyat membuatku hampir jatuh kalau tidak berpegangan pada gerbang rumah.
Mataku melirik jam tangan biru muda yang melingkar di pergelangan tanganku. Jam 22.30.
Habislah aku, waktu minum obat 2 jam lalu dan aku melewatnya. Dengan langkah tertatih sembari menahan rasa nyeri di dadaku, aku berjalan menuju pintu utama.
"Kemana saja kamu jam segini baru pulang?"
Terdengar sambutan dari Pak Tua. Walaupun suaranya datar tapi aku bisa merasakan amarahnya yang siap meluap saat ini juga. Kemudian aku menoleh ke asal suara.
"Habis pulang kerja," cicitku.
Kekehan kecil keluar dari mulutnya.
"Jangan membodohiku, anak sialan! Kamu pikir saya tidak tahu kamu pulang diantar sama siapa, hah?"
Aku menatap Pak Tua dengan sorot berani. Sekarang dia sudah berdiri pongah di depanku.
"Berani kamu natap saya seperti itu??" Teriakkan nyaring kembali terdengar tetapi itu tidak membuatku gentar sama sekali.
Aku sudah terbiasa dengan nada dan tatapan yang di layangkan Pak Tua di hadapan ku ini. Aku tertawa remeh.
"Minggir, saya mau istirahat. Capek!"
Plak.
Ringisan keluar melalui bibirku. Tamparan dari Pak Tua pasti akan meninggalkan jejak, seperti biasa. Rasa panas menjalar dari dada ke leher dan punggungku rasanya tamparan kuat dari Pak Tua tidak ada apa-apanya sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERGI
Short StoryPutus sekolah, dipecat sebagai anak, lalu di vonis jantung koroner. Banyak sekali rintangan hidup di usia 18 tahun. Akankah sang pemeran utama hidup bahagia di penghujung cerita? Kalian percaya 'Setelah gelap terbitlah terang' setelah badai akan ada...