Dunia Kerja

287 11 0
                                    

Sudah setengah hari aku mendatangi setiap toko mencari lowongan pekerjaan. Dari toko pakaian sampai ke toko kelontong tetapi belum ada hasil. Aku menatap sepatu kets ku yang sudah sangat dekil. Lagipula SMA aja belum lulus mana bisa aku bekerja di pabrik kan?

Aku memang berasal dari keluarga berada, istilahnya berkecukupan. Tetapi kekayaan tersebut bukanlah milikku melainkan milik ayahku. Katanya aku tidak punya hak atas semua harta yang dia punya. Aku hanya anak haram yang tidak di harapkan untuk lahir ke dunia. Memang tua bangka itu mulutnya sering bikin sakit hati orang terutama anak pembawa sial-nya ini.

Tidak sengaja aku melirik deretan kata yang membuat senang bukan main. Bibirku merekah saking senangnya aku bahkan melompa-lompat di tempat dan bergegas ke tempat laundry yang sedang membutuhkan karyawan gosok.

"Permisi. Mbak maaf di sini sedang ada lowongan ya?"

Aku bertanya penuh harap kepada mbak-mbak yang sedang berdiri mengisi semacam tabung, aku tidak tau namanya.

Perempuan dengan kisaran umur 30-an itu tersenyum, "Iya, mbak. Kebetulan kita butuh orang buat gosok."

Aku menampilkan senyuman lebar. Setelah dipersilahkan masuk dan katanya aku di suruh membereskan dulu baju yang akan di gosok. Biar enak harus di balikkin dulu katanya. Aku hanya menurut tidak berani membantah.

Pada dasarnya harus tekun dan tidak bosan untuk belajar kata Mbak Sulis kala mengajariku gosok. Yang ternyata tidak semudah yang aku kira sebelumnya. Gosok uapnya juga begitu berat membuat tanganku pegal bukan main itupun baru 6 kg pakaian yang ku gosok.

Belum terbiasa. Besok juga akan terbiasa!

"Mbak Asya, sekarang istiahat aja dulu. Nih ada gorengan, makan aja." Mbak Sulis mengintrupsi kala aku akan mengangkut ranjang baru. Aku tersenyum mengiyakan dan berjalan menghampiri Mbak Sulis.

"Wah kebetulan aku sedang lapar!" Aku mencomot gorengan yang di sodorkan mbak Sulis tadi.

"Laundry ini punya mbak ya?" tanyaku di sela mengunyah. Itu hanya pertanyaan basa-basi sebenarnya. Sudah pasti ini milik mbak itu orang hanya ada dia seorang yang menyambutku tadi.

Mbak Sulis terkekeh, "Bukan, Mbak. Saya hanya karyawan di sini. Yang punya lagi di kampung anaknya kecelakaan keserempet truk."

Mataku terbelalak, "Innaliahi ... terus keadaan anaknya sekarang gimana mba?"

"Katanya ilang ingatan sekarang masih di rawat di rumah sakit."

Setelah sedikit chit-chat dengan mbak Sulis dan perutku sudah lumayan kenyang aku melanjutkan lagi tugasku.

"Eh, mba Sulis itu orang baru siapa euiii kenalin dong!!" teriakan dari sebrang membuatku refleks menoleh. Aku mendengus begitu mendapati seorang cowok yang sedang melambai ke arah sini.

"Kenalan sendiri sinii!" balas mba Sulis berteriak. Sementara tangannya sibuk menggosok celana kulot.

"Eh Mbak karyawan baru ya?" entah sejak kapan cowok itu sudah berdiri di depan pengering. Aku hanya mengangguk sekilas dan berjalan ke belakang menyimpan ranjang pakaian yang sudah ku gosok.

"Saya Andra. Hobby mencintai mbaknya. Dan cita-cita ingin menikahi mbaknya," kata cowok itu lancar. Sementara aku menatap datar cowok tengil itu.

"Mbak Sulis, kok mbanya judes sih!" rajuknya pada mba Sulis.

"Jijik dia sama kamu, Andra!" ujar mba Sulis tepat sekali.

"Memang saya bakteri apa harus jijik segala,"

"Oh iya mbak nanti malem sebelum pulang mampir ya ke kedai es saya." Andra menunjuk kedai di sebrang sana. "Mbak namanya siapa dah?" tanya nya lagi.

"Aku Asya," jawabku singkat.

PERGITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang