20 menit berlalu dengan kesunyian. Padahal ada dua orang yang saling beradu pandang. Aku yang tak nyaman dengan situasi ini memalingkan wajah.
Mencoba mencari objek lain selain muka kecewa Andra.
"Kenapa kamu gak bilang kalau kamu sakit?"
Pertanyaan pertama yang dilontarkan cowok itu membuat mataku menatapnya.
"Gak akan merubah apapun kalopun kamu tau, Dra."
Bisa aku tebak, dokter Aimanlah yang sudah memberi tahu Andra. Harusnya aku juga memintanya untuk merahasiakan dari siapapun, termasuk Andra. Namun, sekarang sudah terlambat.
Sorot kecewa Andra begitu kentara.
"Aku tahu. Tapi setidaknya kamu bisa berbagi gak menahannya seorang diri, Sya."
Aku tersenyum lembut, "Sekarang aku baik-baik saja. Gak usah khawatir lagi ya,"
"Bagaimana aku gak khawatir dengan keadaan kamu sekar--"
"Dra," Aku menatap tepat di maniknya.
"Maaf kalau aku membuatmu kecewa dan khawatir. Namun, aku mohon padamu dengan sangat jangan tinggalin aku ya. Sekarang aku benar-benar gak mau bahas penyakit ini."
Terlihat Andra menurunkan bahunya lalu menatapku, "Tapi kamu janji ya akan sembuh?"
Aku tidak langsung membalas Andra, mengingat kondisi jantungku yang semakin memburuk, aku takut jawabanku akan membuatnya kecewa. Namun, pancaran harapan yang menguar dari mata Andra begitu besar sehingga tidak lama aku menganggukkan kepala, "Iya, aku janji."
Jawabanku ternyata tidak cukup meyakinkan cowok itu. Kini tangannya bergerak membelai kepalaku, "Aku pegang janji kamu,"
Hari silih berganti hingga tak terasa satu minggu sudah aku lewati. Tidak ada kabar baik untuk kondisiku. Semuanya kian memburuk.
Tak seharipun Andra tidak datang menjengukku. Silih berganti menegok adiknya yang juga tengah di rawat d rumah sakit yang sama denganku.
Setiap pagi Andra akan datang sekedar menyuapiku sarapan. Kemudian pergi bekerja sampai sore. Andra benar-benar cowok perhatian. Dia baik dan sulit dilupakan.
"Sore, Asyayang!!"
Seruan terdengar setelah pintu terbuka. Tanpa menolehpun aku tau siapa gerangan yang memanggilku. Hanya Andra seoranglah yang boleh memanggilku demikian.
"Udah makan sore?" tanyanya.
"Sudah tadi dibantuin suster,"
Andra merekahkan senyumannya. Tangannya meletakkan parsel buah di atas meja,"Oh iya ada titipan dari mbak Aries. "
Aku tersenyum menanggapi. Kalian masih ingat kan mbak Aries pemilik laundry tempat aku bekerja. Padahal tadi siang dia sudah menjengukku bareng mbak Sulis. Namun hanya sebentar, karena tidak bisa meninggalkan Laundry.
"Kamu mau buah gak?"
"Boleh,"
Andra menoleh,"Buah apa?"
"Apel,"
Andra mengangguk sembari membawa buah apel dia berjalan kearahku.
"Bentar ya, aku kupas dulu."
Aku memperhatikan muka serius Andra. Tangannya lumayan terampil mengupas kulit apel. Aku harap sepeninggal diriku, kamu bisa menemukan perempuan yang lebih baik dari aku, Dra. Perempuan baik yang tidak menyusahkan seperti diriku.
"Keadaan adek kamu gimana, Dra?" Tanyaku setelah Andra memberikan suapan pertama.
"Baik kok,"
"Syukurlah,"
KAMU SEDANG MEMBACA
PERGI
Short StoryPutus sekolah, dipecat sebagai anak, lalu di vonis jantung koroner. Banyak sekali rintangan hidup di usia 18 tahun. Akankah sang pemeran utama hidup bahagia di penghujung cerita? Kalian percaya 'Setelah gelap terbitlah terang' setelah badai akan ada...