Berbicara Bersama Takdir

192 10 0
                                    

Tidak bisa diajak bercanda. Tidak bisa diajak negosiasi. Tidak bisa dianggap lelucon. Dasar Takdir. Kerap sekali dia mempermainkanku. Menguji kesabaran sampai titik darah penghabisan, tidak tersisa untuk hal lain. Dia, tak pernah sekalipun memihak padaku selalu bertentangan dengan harapan dan ekspetasiku. Memang takdir semenyebalkan itu di mataku. Bukan di mataku saja, tapi kalian berpikiran sama sepertiku juga kan?

Aku menghempaskan diri ke atas ranjang.

Memikirkan takdir pasti akan menemukan jalan buntu. Takdir tidak pantas dihardik. Sekeras apapun kalian memaki, tidak akan merubah apapun. Hanya akan meninggalkan jejak kebencian di hati.

Aku percaya perkataan bunda. Semakin kita memaki takdir semakin kita membenci kehidupan. Memang sulit untuk menerima tapi itu yang patut kita lakukan.

Bunda...

Mengingat bunda di malam ini, aku teringat kalau besok adalah hari kematian bunda.

Mungkin besok aku harus mengunjungi dia, seperti tahun-tahun sebelumnya.

"Kak Asya!! Kak!!!"

Teriakan Anja dari balik pintu menghilangkan suasana hening. Suara teriakan dan gedoran pintu terdengar saling bersahutan.

"Tolong buka pintunya, Anja mau ngasih sesuatu buat kakak!"

Dengan muka kesal aku berjalan ke pintu dan membukanya kasar.

"Apa?!" tanyaku setengah berteriak.

"Ini kue buat kakak, dimakan ya!"

Aku menurunkan pandangan pada kue yang dipegang bocah itu.

"Gak suka kue. Buang aja." Entah kenapa saat berbicara dengan Anja suara ketus sering mendomanisi.

"Tapi Anja sisain khusus buat kakak masa di buang sih,"

Aku memutar bola mata malas melihat raut menyebalkan Anja.

Sreet.

Tanganku hendak mengambil kue tersebut, tiba-tiba entah sejak kapan pak tua sudah berdiri di samping kami dan merebut kue itu.

"Ngapain kamu ngasih dia makan?" tanyanya pada Anja.

"Balikin Pa, itu buat kak Asya!" Anja merengek sambil berusaha menggapai kue di tangan Pak Tua.

"Nggak! Masuk kamar kamu, Anja."

"Tapi Pa--"

"Masuk kamar atau papa hukum kamu, mau?"

Anja menatapku seolah meminta maaf. Tidak ada kata yang keluar dari mulutnya, mungkin dia takut dengan ancaman papa tercintanya.

"Asya, kalau kamu berbuat seenaknya saya gak segan untuk ngusir kamu di rumah ini," peringat pak tua.

"Saya dengar dari dokter Aiman kamu sakit?" Pak Tua tertawa remeh. Matanya menyorot tajam padaku. "Jangan berbuat sejauh ini Asya... menurut kamu saya akan percaya dan simpati sama penyakit bualan mu itu, hah? Jangan harap!"

"Berhenti berbuat memalukan seperti ini. Ini peringatan pertama dan terakhir mu."

Aku tersenyum miris. Menatap kepergian Pak Tua dengan pandangan kosong. Ternyata penyakit sialan ini hanya sebuah lelucon untuknya.

Tidak heran, memang di mata pria itu hidupku tidak begitu berharga. Sekalipun aku mati, mungkin dia tidak akan peduli. Aku memejamkan mata mengumpulkan kekuatan. Tanpa sadar satu butir air terjun bebas lewat sudut mataku.

Kali ini aku membiarkannya mengalir, sekuat apapun untuk tidak memikirkan kalimat menyakitkan itu. Namun, hatiku tidak bisa mengelak. Rasanya sakit mendengar kata-kata itu langsung keluar dari mulut orang tua kandung.

PERGITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang