Terlihat seorang pelajar yang tengah membuang sampah dari restoran tempat ia bekerja. Setiap pulang sekolah ia harus mampir ke restoran tempat ia bekerja untuk membuang sampah atau mencuci piring.
Ia memang anak dari keluarga yang berada. Namun pekerjaan ini harus selalu ia lalukan karena sang ayah hanya membayar uang sekolah tidak untuk keperluan yang lain.
"Haru kamu di panggil pak Mino ke ruangannya." Sapaan salah satu teman satu kerjanya membuat kegiatan haruto terhenti ia hanya membalas dengan senyuman dan segera berjalan ke ruangan sang manager.
𝘛𝘰𝘬
𝘛𝘰𝘬
𝘛𝘰𝘬
"Masuk." Jawab orang di dalam.
"Pak Mino memanggil saya?"
"Iya haruto, ini upah kamu selama 1 bulan ini. Kamu termasuk yang paling rajin walau harus sambil sekolah, tingkatkan lagi ya." Lelaki yang berumur sekitar 35 tahun itu memberikan amplop putih berisi uang.
"Terimakasih banyak pak! Kalau begitu saya permisi..." Ucapnya dengan senyum mengembang.
Mino Hanya menganggukan kepala dan tersenyum.
"Mau pulang ru?" Tanya senior ditempat ia bekerja.
"Iya kak, kalau begitu saya duluan ya."
"Iya hati hati."
Haruto hanya menjawab dengan cengiran lebarnya dan segera keluar lewat pintu belakang restoran. Hari ini ia sangat bahagia karena kerja kerasnya selama ini telah membuahkan hasil, ia melangkahkan kakinya menuju halte. Disana ia memilih duduk dan sedikit memijit kakinya sungguh ia sangat lelah hari ini karena banyaknya pelanggan ia jadi harus mondar mandir.
Bus datang membuat atensi haruto teralihkan ia segera masuk. Didalam sangat sesak syukurlah ia mendapatkan kursi ia bisa mengistirahatkan dirinya sejenak.
Baru saja ia akan duduk dengan nyaman ia melihat seorang nenek yang berdiri tanpa ada yang peduli untuk memberi tempat duduk atau sekedar memberi jalan.
Nenek itu sungguh kepayahan hanya untuk sekedar berdiri.
Haruto membuang rasa lelahnya ia berdiri dan membantu sang nenek untuk duduk di kursinya.
"Kamu gak cape nak?"
"Enggak nek rumah saya Deket kok." Anak itu tersenyum agar sang nenek tak khawatir padahal sedari tadi kakinya sudah bergetar karena ia sangat lelah.
Selang beberapa menit bus yang haruto tumpangi sudah sampai halte berikutnya.
"Nek saya duluan ya."
"Iya hati hati ya nak." Jawab wanita paruh baya itu dengan senyum yang mengembang.
"Iya." Haruto membalas senyum nenek tersebut dan segera turun.
Hari ini ia harus cepat cepat sampai dirumah ia sudah sangat terlambat. Jangan sampai papanya pulang terlebih dahulu.
Namun sepertinya keadaan sedang tidak berpihak padanya ia melihat mobil sang ayah sudah di depan garasi, sungguh ia sangat takut namun ia harus tetap masuk.
"Dari mana kamu anak sial?!" Suara berat itu membuat langkah haruto terhenti, ia melihat sang ayah tengah duduk membelakangi. Haruto tak mungkin menjawab jika ia baru saja bekerja.
"I..tu.."
"Saya sekolahkan kamu untuk belajar bukannya keluyuran!! Kamu pikir bayar uang sekolahmu menggunakan daun?! Darimana saja kamu?!!" entah sejak kapan sang ayah sudah berada di depan haruto.
Hanbin menampah haruto dengan sangat keras.
Tak sampai disitu ia bahkan memukul Radit dengan tangannya sendiri tanpa belas kasihan, hanbin terus memukuli haruto. Hingga anak malang itu tersungkur di bawah lantai, satu satunya yang bisa ia lakukan adalah menutupi kepalanya agar tak terkena pukulan.
"A..am..ampunn pah..ha..ru minta maaf."
"Berdiri!!" dengan sisa kekuatannya haruto mencoba berdiri.
Kini hanbin memukuli kaki haruto. Jika sudah begini ia hanya bisa menggigit bibirnya menahan tangis dan sakit.
"Gara gara kamu istri saya meninggal! Tapi kamu bales ke saya seperti ini?!"
"𝘗𝘢𝘱𝘢 𝘴𝘢𝘬𝘪𝘵." batin haruto.
"Udahlah pah anak kayak gitu gak mungkin kenal Budi." Kini yang bersuara adalah kakak kedua haruto Watanabe mashiho, yang di setujui oleh kakak sulung haruto dan kakak ketiga haruto.
𝘊𝘵𝘢𝘳!!
𝘊𝘵𝘢𝘳!!
Tak puas dengan lebam yang sudah hanbin buat. Ia mencambuk haruto dengan sabuk menimbulkan bekas merah bahkan sampai berdarah.
Keseimbangan haruto sudah goyah kakinya bergetar dan kulitnya terasa sangat panas dan sakit. Haruto terjatuh untuk yang kedua kalinya.
Mencoba untuk tidak mengeluarkan satu tetes air mata pun haruto kembali berdiri.
"Masuk kekamar mu!! tidak ada makan malam untuk anak sial kaya kamu."
"Iya pah." Haruto berjalan pincang, untuk menaiki tangga saja ia sangat kesusahan. Perih dan sakit yang kini ia rasakan benar benar menyusahkannya.
Anak itu membuka pintu kamarnya dan segera terduduk lemas di depan kamar. Tangisnya langsung pecah sungguh sangat sesak dan sakit.
"𝘔𝘢𝘮𝘢...𝘴𝘢𝘬𝘪𝘵...𝘩𝘢𝘳𝘶𝘵𝘰 𝘤𝘢𝘱𝘦𝘬."
Ini sebenarnya bukan book kedua aku tapi aku publish nya ini dulu yang book kedua aku masih dikit banget jadi aku nunggu biar banyak stok.
Jangan lupa tinggalin jejak.
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
HARU
Ficción GeneralHaruto hanya ingin papa dan ketiga kakaknya menyayangi layaknya keluarga harmonis dan berhenti menyebutnya anak pembunuh dan anak pembawa sial.