𝐂𝐡𝐚𝐩𝐭𝐞𝐫 𝟎𝟒

345 30 0
                                    

"𝘑𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯...𝘴𝘢𝘬𝘪𝘵 𝘱𝘢𝘩...𝘩𝘢𝘳𝘶 𝘮𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘮𝘢𝘢𝘧..."

𝘊𝘢𝘮𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘪𝘵𝘶 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱 𝘥𝘪𝘭𝘢𝘺𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘴𝘦𝘬𝘶𝘫𝘶𝘳 𝘵𝘶𝘣𝘶𝘩 𝘢𝘯𝘢𝘬 𝘣𝘦𝘳𝘶𝘴𝘪𝘢 10 𝘵𝘢𝘩𝘶𝘯 𝘪𝘵𝘶. 𝘉𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘵𝘦𝘳𝘭𝘪𝘩𝘢𝘵 𝘭𝘶𝘬𝘢 𝘪𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘪𝘳𝘢𝘮𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘢𝘪𝘳 𝘴𝘦𝘩𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢 𝘴𝘢𝘯𝘨𝘢𝘵 𝘱𝘦𝘳𝘪𝘩.

"𝘈𝘕𝘈𝘒 𝘚𝘐𝘈𝘓!!"

...

"Maaf!!" Haruto terbangun terpaksa membuat kepalanya sedikit nyeri.

"Ah mimpi itu lagi."

Haruto baru menyadari bahwa ruangan yang ia tempati sekarang bukan seperti uks disekolahnya.

𝘾𝙠𝙡𝙚𝙠

"Haruto? kamu sudah bangun? bagaimana? masih sakit?" Seorang lelaki paruh baya bertanya dengan khawatir, pria itu lalu duduk di sebelah haruto menatap anak itu dengan pandangan cemas.

Itu adalah Bobby wali kelas haruto.

"Sudah pak saya sudah mendingan...
saya dimana ya?"

"Kamu sekarang dirumah sakit."

"Rumah sakit?! kenapa saya nggak di uks aja pak? saya kan jadi merepotkan bapak."

"Kamu ini bicara apa, tentu saja nggak merepotkan buat bapak. Ibu uks yang menawarkan kamu ke sini dia khawatir banget tadi, selain itu kesehatan anak kelas bapak itu yang paling utama!" Bobby terkekeh pelan, membuat haruto ikut tertawa kecil.

"Terima kasih pak, karena sudah mengurus saya. Lain kali saya traktir soto di kantin ya? Hehe."

"Boleh! Nambah 5 porsi boleh gak?" Sekali lagi haruto tertawa kecil, anak itu mengangguk pelan. Membuat pria berusia 30 tahun itu tertawa.

"Bercanda, bapak ikhlas kok. Kamu jangan terlalu merasa terbebani ya? Semua anak kelas bapak adalah anak bapak."

Haruto menatap Bobby dengan teduh, laki laki di depannya memang selalu memancarkan aura positif membuat semua orang yang dekat dengannya merasa nyaman.

"Ngomong ngomong, sekarang jam berapa ya pak?"

"Sekarang masih jam 11.00, kamu pingsannya lama banget tadi."

"𝘚𝘺𝘶𝘬𝘶𝘳𝘭𝘢𝘩 𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮 𝘵𝘦𝘭𝘢𝘵."

"Tenang aja bapak udah ijin sama guru mata pelajaran di kelas."

𝘋𝘳𝘳𝘵 𝘋𝘳𝘳𝘵

"Bapak terima telepon dulu ya."

"Iya pak."

Haruto menatap punggung Bobby yang semakin menjauh hingga hilang di balik pintu.

Anak itu menatap ke sekeliling ruangan nuansa putih tersebut, ruangan putih berbau obat yang sangat haruto hindari seumur hidupnya. Entah mengapa berada di ruangan berbau obat sendirian seperti ini membuat dia takut, seolah ada sesuatu di balik ingatannya yang membuat dia membenci tempat ini.

"Akh!" Anak itu memegangi kepalanya saat rasa sakit tiba tiba menusuk membuat kepalanya pusing. Terasa lebih sakit dari biasanya.

Haruto merintih kesakitan bersamaan dengan cairan warna merah yang keluar dari hidungnya. Anak itu berusaha bangun dari bangsal, ia ingin ke kamar mandi untuk mencuci hidung yang sudah berwarna merah karena darah. Namun kakinya tiba tiba terasa sangat lemas dan sulit digerakkan, membuat ia jantung ke lantai.

"Argh!!" Haruto kembali memegangi kepalanya erat, saat rasa sakit yang terasa menyakitkan itu kembali bereaksi.

𝘾𝙠𝙡𝙚𝙠

"Haruto kamu mau makan sesua-" Bobby menggantungkan kalimatnya laki laki itu berlari tergopoh-gopoh saat melihat anak kelasnya itu terbaring lemas dilantai.

"Haruto kamu gak papa?! Ya Tuhan kamu mimisan! Sebentar bapak Panggilkan dokter."

Laki laki berjas putih itu kembali mengalungkan stetoskop pada lehernya. Setelah selesai mengecek keadaan haruto.

"Dok, saya kenapa?"

"Ini harus dibicarakan dengan keluarga kamu. Saya akan berbicara dengan laki laki yang berada diluar."

"Dia guru saya, orang tua saya tidak disini."

"...."

"Saya akan menerima apapun kenyataannya, tanpa berkecil hati."

Dokter tersebut tampak berfikir, sangat bahaya memberitahu keadaan pasien kepada pasien itu sendiri karena bisa menyebabkan keputusasaan.

"Kamu bisa telpon orang tua kamu?"

Haruto terdiam sesaat anak itu memalingkan wajah. Entah siapa yang bisa ia panggil sekarang.

"Orang tua saya susah dihubungi, dokter bisa percaya sama saya. Saya berjanji tidak akan berkecil hati."

Pria berjas putih itu menatap haruto dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Kamu harus kuat dengan apapun yang dokter katakan."

"Baik!" jawab haruto mantap.

"Hasil dari tes darah kamu, kamu positif mengidap kanker otak. Untuk mengurangi resiko komplikasi lainnya kamu harus segera melakukan kemoterapi."

Haruto sangat terkejut. Tangan anak itu gemetaran, bukan jawaban ini yang haruto bayangkan bahkan terlalu jauh dari kata "selamat", anak itu menggenggam jemarinya dengan erat lalu menatap wajah dokter di depannya dengan senyuman tulus seolah ia tak merasa terbebani.

"Terimakasih dok."

"Dengar kata kata saya haruto. Kamu harus di kemoterapi kamu mungkin harus dirawat disini."

"Dirawat? Beri saya waktu ya dok."

"Tidak bisa haru-"

"Saya mohon dok. Saya janji saya akan sering check up kesini."

Laki laki itu hanya dapat menghela napas berat menatap haruto dengan dalam.

"Ini demi kebaikan kamu."

Haruto mengangguk semangat. Entah kenapa dokter tersebut merasa familiar dengan anak ini wajah dan senyum yang hampir mirip dengan seseorang yang sudah lama pergi meninggalkannya.

𝘒𝘢𝘬𝘢𝘬𝘯𝘺𝘢.

Padahal baru pertama kali ia melihat haruto namun ia seperti melihat sosok duplikat dari saudaranya itu.

"Saya keluar dulu." Pamit dokter tersebut pada haruto.

Haruto hanya membalas dengan anggukan kepala.

Setelah memastikan dokter benar benar keluar, haruto menelungkupkan wajahnya pada lutut. Anak itu menangis pelan dadanya terasa sesak sekali.

"𝘊𝘰𝘣𝘢𝘢𝘯 𝘢𝘱𝘢 𝘭𝘢𝘨𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘦𝘯𝘨𝘬𝘢𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘶𝘩𝘢𝘯?"





















Sebenernya aku gak mau update dlu soalnya aku lagi permata, tapi karena lagi bisa megang hp aku update aja.

Ada yang nungguin gak ya?


Tbc.

HARUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang