Chapter 48

1.4K 61 27
                                    

Selamat datang di chapter 48

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tolong kasih tahu kalo ada typo juga ygy

Thanks

Happy reading everybody

Hopefully you enjoy and love this story like I do

❤️❤️❤️

____________________________________________________

Pelukan seorang Ayah tidak akan membuat seorang pria terlihat lemah

—Thunder Devoss
____________________________________________________

—Thunder Devoss____________________________________________________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Musim dingin
New York, 29 Desember
Pukul 19.20

Belum sempat Jameka menceritakan lebih detail tentang itu, ada telepon masuk. Dia meminta maaf karena buru-buru pamit dengan menyerahkan beberapa lembar uang. Namun, aku menolak. Dengan paksaan sedikit, dia akhirnya menyerah dan membiarkanku membayar minuman yang belum kami sentuh sama sekali. Aku pun tidak selera.

Lalu ke mana aku hendak pergi? Aku tidak tahu. Ke penthouse? Aku tidak yakin sebab tidak ada lagi yang menungguku pulang. Di sana memang ada ruang rahasiaku, tetapi rasanya sudah tidak menarik lagi. Ke apartemen Ralph? Aku yakin dia masih sibuk mengurus sesuatu. Ke kelab terdekat? Aku tidak seberapa menyukai keramaian. Terutama saat aku seorang diri. Ke rumah Ayah? Sama saja dengan cari mati. Mengenal bagaimana sifatnya, aku yakin Ayah tidak akan mau bertemu denganku lagi. Terutama setelah berkata, “Aku kecewa sekali padamu, Nak.”

Aku benar-benar menemukan kebuntuan bagai dikelilingi tembok benton yang membuat seorang klaustrofobia[6] sekarat.

Selama sepuluh menit menyetir—entah ke mana, aku hampir menabrak setidaknya empat mobil, satu ambulans, dan beberapa motor. Kepalaku amat berat dan pusing memikirkan tsunami fakta baru yang terus menerjang akhir-akhir ini. Sampai-sampai otakku sulit mencernanya. Sehingga sulit bagiku untuk menyikapi suatu hal dengan benar. Aku ingin melakukannya sesuai prosedur yang biasanya kulakukan. Yakni mendahulukan logika daripada perasaan. Namun, belakangan ini apabila aku melakukan itu, perasanku yang bertentangan dengan itu menghadang di garis paling depan. Sehingga, sering kali menimbulkan dilema.

Sekali lagi aku mendengar klakson kendaraan lain dibunyikan. Seorang pria menurunkan kaca jendela mobil tepat di sebelahku untuk berteriak, “Hei! Perhatikan jalanmu, asshole! Pengemudi amatir tanpa lisensi seharusnya tetap di rumah! Jangan berkeliaran di jalan!Dia mengacungkan jari tengah sebelum mobil yang dikendarai orang di sebelahnya mendahului mobilku.

Wajar pria tersebut marah. Itu pasti ulahku karena menyetir ugal-ugalan dan hampir menyerempetnya. Malam ini salju turun lagi. Udara di luar jauh lebih dingin daripada sebelumnya. Akan sangat berbahaya bagiku jika secara mendadak menginjak rem dalam-dalam di tengah hiruk pikuk jalanan yang licin dan ramai menjelang tahun baru.

DIVORCE PLANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang