Aku berjalan mengikuti Wendy masuk ke dalam kamar, sejak di lobby tadi dia tertawa tak berhenti.
"apa yang kamu tertawakan?" tanyaku sedikit kesal melihatnya.
"tidak ada" jawab Wendy yang masih tertawa.
"apakah lucu?" aku kesal menyadari bahwa dia menertawakanku karena menangis.
"sebenarnya aku terkejut dan bertanya-tanya kenapa kamu menangis, apakah kamu takut aku pergi?" tanya Wendy mencoba untuk menghentikan tawanya.
"iya! aku mengkhawatirkanmu dan berpikir kamu telah pergi" jawabku dengan tegas.
Wendy terdiam menatapku, dia menjadi salah tingkah.
"maaf kalau ternyata seserius ini" ucap Wendy.
"kamu tidak menghubungiku, ketika aku datang dan kamu tidak ada di kamar. Tentu saja aku khawatir setelah apa yang aku lihat semalam" ucapku.
"kamu melihatnya?" tanya Wendy sedikit terkejut, aku hanya mengangguk pelan.
"aku tidak akan bertanya, aku menyewakan kamar ini untukmu agar kamu bisa beristirahat dan menenangkan diri" ucapku.
Aku kemudian meraih tas yang ku bawa, pakaian yang sengaja aku bawakan untuk Wendy.
"semoga pas di kamu ya" ucapku memberikan tas itu pada Wendy, ku lihat dia menunduk murung.
Aku berdiri dan berjalan ke sisi jendela, hujan turun cukup deras di luar membuatku berpikir bagaimana aku bisa pulang ke rumah.
"aku melakukan kesalahan" tiba-tiba Wendy bersuara dan membuatku melihat ke arahnya.
"waktu itu aku terlibat kasus penipuan dan membuat salah satu bisnis ayahku bangkrut" ucapnya lagi.
"aku menjual apartemen untuk mengganti semuanya tapi tentu saja belum dapat menutupi kerugian" terlihat Wendy kembali menangis.
Aku masih berdiri diam tanpa berkata apapun dan mendengarkan keluh kesahnya.
"ayah dan ibuku marah, marah besar! seolah-olah semua itu adalah kesalahanku, ditambah lagi Patricia tidak membantuku sama sekali dan juga ikut menyalahkanku" tangis Wendy semakin pecah.
"yang membuatku semakin sedih adalah ketika aku membutuhkan dukungan namun tidak ada orang di sisiku, Patricia yang ku harap bisa mendukungku malah bersikap sebaliknya" tutup Wendy.
Dengan segera aku menghampiri Wendy dan memeluknya dengan erat, tangisannya pecah di pelukanku. Akhirnya aku mengetahui penyebabnya, sikap tak biasa layaknya seorang saudara dari Patricia membuatnya semakin sakit dan malah memojokkannya.
"hey, ada aku di sini. Aku memang bukan keluargamu tapi tidak ada salahnya kamu berbagi denganku segala keluh kesahmu" ucapku menenangkan.
Wendy mengangkat kepalanya dan menatapku lekat, isak tangisnya berhenti kemudian tersenyum padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angels Like You
FanfictionKetika semua harus dipaksa untuk mengerti dengan keadaan