17 [end]

124 30 4
                                    

Aku terdiam setelah mendengarkan cerita Wendy, tidak menyangka bahwa kehidupannya tidak berubah menjadi lebih baik setelah mengikuti orangtuanya berpindah-pindah tempat. Ku lihat wajah Wendy yang berusaha tegar walaupun selama ini dia selalu mengalami kesakitan.

"lalu, bagaimana kamu bisa ada di sini? apakah tuan dan nyonya Son ada di sini juga?" tanyaku dan Wendy hanya mengangguk.

"sudah dua tahun kami berada di sini dan sudah lebih dari 10 negara yang kami tinggali, entah setelah ini akan ke mana lagi" ucap Wendy.

"kamu mau pergi lagi?" tanyaku.

"mungkin iya, mungkin saja tidak. Aku tidak pernah tahu rencana orangtuaku dan tidak pernah menentu waktu kami tinggal di suatu negara" jawab Wendy.

"kamu akan meninggalkanku lagi?" tanyaku lagi yang kembali meneteskan airmata.

Wendy dengan segera memelukku dan mencoba untuk menenangkanku, perasaan yang ku jaga sejak lama kembali tidak menemukan ujungnya.

"benar 'kan? harusnya kita tidak usah bertemu lagi. Aku bahkan tidak tahu harus bagaimana, bertemu hanya akan menyakiti" ucap Wendy.

Tangisanku semakin kencang, aku juga tidak dapat berpikir.

Ponsel Wendy berdering, dia melepaskan pelukannya. Ku lihat dia menghela nafas panjang kemudian menatapku.

"Patricia, aku jawab dulu teleponnya" ucap Wendy.

Wendy: hmm...

Patricia: kamu di mana? apartemen?

Wendy: tidak, aku sedang di luar. Ada apa?

Patricia: besok sore kita berangkat ke Turki, jika sudah selesai di luar segera packing barangmu.

Wendy: tidak bisakah kita lebih lama di sini?

Patricia: kenapa? kamu 'kan sudah terbiasa hidup berpindah-pindah.

Wendy: tidak ada gunanya bicara denganmu.

Wendy menutup teleponnya, dia melemparkan ponselnya kemudian menutup wajahnya dengan kedua tangan.

"ada apa?" tanyaku.

"besok kami akan berangkat ke Turki, besok sore" jawab Wendy.

Air mataku kembali menetes, mungkin Wendy benar bahwa seharusnya kita tidak usah bertemu lagi. Wendy meraih tanganku dan menggenggamnya erat, dia juga mengelus lembut rambutku.

"jangan bersedih, kita masih bisa berhubungan via telepon dan berkirim pesan" ucap Wendy yang juga menangis.

"tidak semudah itu, Wen" ucapku merasa kesal tentu saja.

Wendy menatap wajahku, tatapan penuh harap. Harapan di mana aku dan dia bisa bersatu dan bisa menjalani hidup yang lebih baik. Tapi aku tidak bisa menyalahkannya, bukan maunya seperti ini. Seharusnya aku bisa lebih mengerti bahwa musim akan berganti dan dia akan tetap pergi.

Aku membelai lembut pipinya, mencoba untuk tenang dan tidak ingin merasa sakit. Setidaknya bertemu kembali adalah sebuah anugerah walaupun tidak ditakdirkan bersama.

Ku cium lembut bibirnya, ciuman yang selama ini ku rindukan dan untuk menghapus tanda ciuman dari Winter. Aku ingin terus mengenang ciuman yang diberikan Wendy olehku, tidak ingin ku gantikan dengan orang lain sampai suatu saat kami berdua akan bertemu lagi. Mungkin...

Dia tersenyum, dia cium keningku dengan lembut.

"malam ini aku ingin bersamamu. Biarkan malam ini akan menjadi kenangan indah untuk kita berdua" ucap Wendy.

Pikiran kami sama, kami tidak ingin egois. Bahkan jika nantinya kami ditakdirkan akan bertemu lagi perasaanku akan tetap sama, mungkin bodoh jika terus menunggunya tapi dia akan selalu ada di sebagian besar tempat di hati.

Keesokan harinya...

Aku terbangun, cahaya matahari menyelinap melalui gorden. Ku raba sisiku dan segera aku membuka mata, ku lihat Wendy sudah tidak ada di sisiku dan hanya ku temukan sepucuk surat. Aku segera berdiri kemudian berjalan ke arah lemari pakaian, kosong. Ku lihat jam dinding dan waktu telah menunjukkan pukul 14.30 PM, entah jam berapa aku tertidur setelah sepanjang malam menghabiskan waktu berdua dengan Wendy. Kini dia telah pergi, lagi.

Aku kembali ke sisi ranjang dan ku ambil surat yang tentu saja untukku, apa susahnya membangunkanku sebelum pergi? dia bahkan tidak ingin mengucapkan selamat tinggal atau memelukku sebelum dia pergi. Aku buka suratnya, ada selembar foto kami berdua yang sengaja diambil semalam. Aku menghela nafas panjang dan mulai membaca isi suratnya.

"berat, berat rasanya mengucapkan selamat tinggal. Aku tidak mampu untuk berkata selamat tinggal sebelum aku pergi karena itu menyakitkan, anggaplah aku hanya pergi sebentar dan nantinya akan bertemu denganmu lagi di situasi yang lain, mungkin versi terbaik dari diriku? Bertemu denganmu lagi adalah hal yang tidak pernah aku bayangkan, aku bahagia karena kenangan tentangmu bertambah. Berbahagialah hari ini dan seterusnya, mendoakanmu sudah menjadi kebiasaanku semenjak aku pergi, kamu perlu tahu bahwa kamu adalah malaikat yang sengaja dikirim untukku walaupun hanya sesaat"

Ku tutup surat dari Wendy, airmataku berlinang namun aku tersenyum. Aku hanya bisa mengikhlaskan segalanya karena setidaknya semua yang menggantung selama bertahun-tahun terjawab sudah. Tentu aku masih mengharapkannya, mengharap dia kembali dan bertemu lagi.
Atau, membuka hatiku untuk yang lain?

THE END!

THE END!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 27 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Angels Like YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang