d'voice - 5

82 8 1
                                    

"yang ini?"

Aku meraih apa yang ada di tangan Nabila dan membawanya ke dekat hidung lalu mengendusnya, bau khas kunyit langsung berhasil terbayang di kepalaku,

"Kunyit yah?"

"yap!"

"Kalau yang ini?"

Saat kusentuh aku langsung bisa menebak sesuatu yang panjang dan kurus itu

"sereh?"

"perfect"

Huh! Ide konyol menebak bahan-bahan masakan ini datang dari Nabila setelah mendengarku mengatakan, "Gue bisa gak yah, masak buat Ibram?" dan dia langsung tidak mau di debat bilang "Bisalah! Kenapa nggak!" dan sejak kemarin kami mulai melakukan tebak menebak bahan.

Tapi mengetahui bahan-bahan saja tidak cukup untuk bisa memasak, ditambah dengan aku yang memang tidak memiliki basic apa-apa kecuali masak air, telur ceplok dan mie instan dan terakhir kali melakukan semua itu sebelum aku kehilangan penglihatan, waktu singkat ini tidak akan cukup.

Orang yang bisa melihat saja mungkin butuh waktu berbulan-bulan untuk jago memasak, apalah daya aku ini. Kalau bukan karena Nabila memaksa, aku mending menghabiskan banyak-banyak waktu dengan diriku sebelum besok mengakhiri masa lajangku yang berharga. Atau setidaknya mengistirahatkan tubuh sebelum hari pernikahan yang kebanyak orang bilang sangat melelahkan.

Yah! Tidak salah, pernikahannya besok!

Setelah sama-sama mengiyakan perjodohan orangtua satu minggu lalu, aku dan Ibrahim akan menikah besok.

Dan sejak satu minggu lalu juga rumahku mulai berubah, Papa dan Mama sibuk mengurus ini dan itu, aku dilarang pergi ke toko, keluarga dan kerabat terdekat Papa dan Mama berdatangan dan bahkan Nabila harus menginap di rumah untuk membantu menyiapkan segalanya. Ramai sekali.

"Jia! Sayang. Sini sebentar, nak!"

Aku menoleh kearah ruang tamu dimana sumber teriakan Mama berasal.

"Iya bentar, Mah!"

Aku segera melepaskan sereh lalu mencuci tangan di wastafel, aku berjalan keruang tamu bersama Nabila.

"Kenapa, Mah?"

"Sini duduk dulu"

Aku mengambil duduk di dekat Mama.

"Ini udah kayak request-an kamu, nih. Emas putih sederhana yang penting ada berlian untuk mempelai wanitanya, ada ukiran tanggal nikah dibagian dalem. Tinggal cocok atau enggak."

"Kalau gak cocok gimana?"

"Dicoba dulu, Ji!" Nabila menyentil dahiku

"Ish. Kan nanya, Bil"

"Nabila bener, dicoba dulu, biar cepat dilapor ke tukang cincinnya kalau gak cocok."

"Yang punya si cowok emang udah cocok?"

"Cocok. Tadi Tante Diana nelfon bilang kalau Ibram cocok sama cincinnya. Tinggal kamu nih"

Mama lalu meraih tangan kananku, menyematkan benda dingin di jari manisku.

"MasyaAllah. Pas!"

Benar. Rasanya tidak longgar dan tidak sempit. Pas.

Kuraba cincin itu dengan tanganku yang lain, rasa dinginnya menyeruak bersama getaran yang muncul di dadaku, aku merinding sambil memejamkan mata.

Ini bukan hanya cincin, ini ikatan, tanda kepemilikan dan sebuah tanggung jawab. Ketika besok Ibrahim menyematkan milikku dan aku menyematkan miliknya, maka kami menyatu. Dan jika Allah mengizinkan maka itu akan bertahan selamanya.

d'voiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang