Aku ini sudah cinta. Jadi sudah terjebak di kamu
🍂
Tidak ada yang kusesali dari pertemuanku dengan keluarga Tamara kemarin, bahkan ketika aku tahu bahwa Ayahnya adalah teman Ibrahim. hanya saja yang mengganggu pikiranku sejak setelah itu adalah apa yang menjadi topik pembahasan kami tentang Ibrahim, suamiku.
Sesuatu yang baru ku ketahui dan tidak pernah sekalipun Ibrahim bicarakan denganku.
Hari itu Viona dan Danu bilang bahwa mereka mengenal Ibrahim di rumah sakit ketika sama-sama melakukan kunjungan kontrol Bersama dokter spesialis psikiater yang menangani Viona sebagi seseorang yang mengidap gangguang kepribadian ganda yang sudah dia idap sejak sebelum dia menikah dan memiliki anak.
Lalu yang otomatis dan tentunya menjadi bahan pertanyaan di kepalaku adalah, untuk apa Ibrahim kontrol di poli jiwa? Dengan dokter psikiater? Sakit apa? Dan.. kenapa tidak pernah bilang?
Tapi semua pertanyaan yang ku ajuan pada Viona dan Danu hari itu tidak mereka jawab. Menghargai privasi Ibrahim jika memang tidak menceritakannya kepadaku secara langsung, dan tidak ingin berlebihan dalam sangkutan urusan kami berdua alasannya, malah menyarankan agar aku bertanya langsung kepada Ibrahim supaya tidak ada salah paham apalagi buruk sangka.
Dan kukira alasan mereka bisa kumengerti.
Hanya saja, Ibrahim tidak di sini, di Bandung, dengan sudah berpesan bahwa selama di sana dia mungkin tidak akan bisa memeberi kabar atau dihubungi karena alasan kesibuan masalah pekerjaan yang ingin fokus dia selesaikan.
Tapi kukira, kalaupun saat ini dia ada di sini denganku, aku tidak memiliki keberaniaan untuk menanyakannya secara langsung. Seperti kata Viona bahwa jika Ibrahim tidak cerita itu artinya dia tidak ingin aku tahu.
Maka ini lah lagi sumber beban kepala yang berhasil membuatku kesulitan tidur dalam dua malam ini. Ibrahim benar-benar tidak memberi kabar, dan aku juga tidak berani menghubunginya, tapi demi apapun yang bisa kujadikan pembuktian bahwa sekarang ini aku sangat penasaran.
Entah sudah yang keberapan kali aku berguling ke kanan lalu ke kiri, berbalik dengan kepala di bawah ujung tempat tidur dan kaki menyandar di tembok. Susah sekali menutup mata.
Berbagai spekulasi bermunculan, membentuk pazel di kepalaku dengan acak, memberi sensasi pening dan gelisah yang membawaku pada prasangka-prasanka yang terus berusaha ku sangkal.
Tapi kesadaran tentang bagaimana prasangka selalu membawa pada akhir yang buruklah kenapa aku tidak ingin terus berlarut dalam gulingan kecamuk di kepalaku.
Memang kenapa kalau Ibrahim kontrol dengan dokter psikiater? Aku saja pernah kan.
Memang kenapa kalau dia ada masalah? Manusia memang fitrahnys akan di uji kan.
Memang kenapa kalau dia tidak cerita? Bukannya aku juga baru cerita ketika akhirnya aku kumat karena masalah memecahkan gelas.
Ah dasar aku. Padahal kalau Ibrahim sudah pulang, aku punya hak untuk bertanya. Jadi, apa lagi masalahnya.
Sudah seharusnya sekarang aku memperbaiki posisi tidurku, menarik selimut, membaca doa lalu menutup mata dan terlelap.
🍂
Hari ini Papayang mengantar ku ke D'florist. Padahal sudah kubilang Nabila akan jemput tapi beliau ngotot.
Jadilah aku harus duduk di jok sebelah Ayah yang menyetir dengan alunan musik tempo dulu yang juga jadi salah satu alasan kenapa aku tidak begitu suka naik mobil dengan Papa.
KAMU SEDANG MEMBACA
d'voice
Romance"Rasa kasihan." "Karena saya kasihan dengan kamu, karena itu saya akan menikah dengan kamu." Aku tersenyum getir mendengar pengakuan dan alasan yang baru saja diutarakan itu. Seperti tombak tajam yang menancap ke dadaku, fakta itu luar biasa menyak...