Untuk berani mengatakan cinta, kamu harus siap dengan tanggungannya yang bisa saja seumur hidup.
🍂
Hari pertama di rumah baru.
Aku seperti berada di tempat paling jauh dari rumahku dan aku tidak bisa kembali pulang, terjebak disini.
Aku tidak sedang mengartikannya sebagai sesuatu yang negatif, aku hanya sedang mengeluh karena sejak tadi berusaha menghapal ruang kamar tapi belum berhasil.Ini baru satu kamar, kata Bibi rumah ini cukup besar, sedangkan aku memaksa bisa menghapal semuanya dalam waktu sesingkat-singkatnya yang ku bisa.
"Gak usah dipaksain, kita punya banyak waktu, sayang" Begitulah petuah pak suami, tapi aku yang keras kepala mana bisa dicegah.
Aku menggeleng, menggulung rambutku setinggi-tingginya lalu mencepolnya, atas permintaan Ibrahim agar aku tidak perlu menggunakan hijab selagi hanya ada dia atau Bibi, maka aku bebas memamerkan rambutku di dalam kamar ini.
"Sekali lagi deh, kalau masih gagal, kita udahan dulu, tapi besok lanjut lagi yah, Mas."
"Hm"
Lalu aku mulai melangkahkan kakiku, berusaha keras tidak mengangkat tangan untuk meraba sambil berjalan menuju tempat yang sudah mati-matian ku hapal.
"Ini sofa... Di kiri ku pintu wall in closet.. Terus ini sisi kiri tempat tidur, nakas, terus.." Aku kembali berjalan "Ujung bawah kasur"
Lalu aku melangkah maju dari posisiku sekarang "Meja rias.."
Lalu aku kembali berjalan, kukira aku hampir menghapal ruangan ini ketika aku hanya perlu berjalan menuju pintu kamar mandi dan selesai, tapi karpet menyebalkan yang ada di lantai ini menggagalkan semuanya, membuatku tersandung dan lututku jatuh ke lantai dengan keras.
"Kamu gak papa?"
Ibrahim membantuku berdiri, sambil berpegang pada lengannya aku menggeleng dan cengengesan. Ini bukan apa-apa mengingat aku pernah mengalami yang lebih parah dari ini, aku bahkan pernah dilarikan ke rumah sakit karena terpeleset di kamar mandi dan keningku berdarah.
"Sudah. Hari ini cukup"
Aku rasa itu bukan lagi bujukan, tetapi sebuah perintah. Aku mengangguk pelan.
Ibrahim membawaku duduk di sofa, lalu aku bisa merasakan di berjongkok di depanku dan memeriksa lututku. Aku memang hanya mengenakan baju longgar setinggi lutut, biasa kugunakan saat hanya dirumah seharian.
"Sakit gak?"
"Enggak"
"Tapi ini merah"
"Udah biasa"
Ibrahim pasti tengah menatapku, aku bisa merasakannya.
"Harusnya saya lebih cepat menerima tawaran Bunda untuk perjodohan kita, sehingga saya bisa lebih cepat melindungi kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
d'voice
Romance"Rasa kasihan." "Karena saya kasihan dengan kamu, karena itu saya akan menikah dengan kamu." Aku tersenyum getir mendengar pengakuan dan alasan yang baru saja diutarakan itu. Seperti tombak tajam yang menancap ke dadaku, fakta itu luar biasa menyak...