d'voice - 13

58 8 2
                                    

Bagaimana bisa aku akan kehilangan harapan, jika kehadiran mu saja adalah bentuk harapan itu sendiri.

🍂

Bagaimana penampilanku?

Adalah pertanyaan yang tidak jarang hinggap di benakku.

Dulu aku suka sekali berdandan, memoles wajahku tipis-tipis atau menjadi model Mama untuk belajar make up. Tapi itu dulu, ketika aku masih bisa menikmati hasil polesanku di cermin.

Setelah apa yang menimpaku, aku berhenti peduli dengan diriku sendiri, jangankan berdandan aku bahkan tidak berpikir bisa bergerak lagi dari tempatku tanpa penglihatan. Tapi dukungan yang kuterima dari keluarga dan orang-orang terdekatku membuatku mau bangkit lagi dan berpikir bahwa jika keadaan ini seharusnya tidak membuatku putus asa untuk merawat diri.

Ada orang yang keadaannya lebih tidak masuk akal tapi mereka tetap bisa memberikan yang terbaik untuk diri mereka sendiri. Setidaknya aku harus berusaha, agar apa yang Tuhan masih titipkan tidak sia-sia jadinya. Begitulah akhirnya aku mau belajar berdandan lagi.

Dengan usaha yang sudah ku lakukan, aku jadi bisa menggunakan perintilan make up walaupun tipis. Aku menggoreskan liptint diatas bibir bawahku, mengecapnya sehingga membaur dengan bibir atas. Aku cukup percaya diri untuk melakukannya hanya dengan insting berpadu pengalaman yang kupunya.

Setelah kurasa cukup, aku meletakkan kembali benda kecil itu di tempatnya diatas meja, ketika menarik tangan kembali aku tidak sengaja menyenggol sesuatu yang akhirnya jatuh dan menggelinding di lantai. Oh iya! Aku sampai lupa kalau selain punyaku, meja rias ini juga dipenuhi barang-barang Ibrahim.

Aku membungkuk dari atas kursi, meraba-raba mencari yang jatuh itu. Harusnya tidak terlalu jauh dariku.

"Nah!"

Aku bangkit dengan sebuah benda berbentuk botol kecil di tanganku. Botol seukuran tangan yang berbentuk huruf C itu mengambil perhatianku ketika sesuatu di dalamnya menimbulkan bunyi.

Kugoyangkan kembali, dan satu-satunya yang ada di kepalaku adalah 'obat'.

Kubuka tutup botol itu, hendak mengendus baunya.

"Sudah siap?"

Aku mematung diterpa semerbak wangi body wash, menguar dari tubuh Ibrahim yang baru saja keluar dari kamar mandi.

"Kamu mau minum vitamin?"

"Oh, ini vitamin?"

"Iya. Booster saya kalau kerjaan sudah mulai padat."

Aku mengangguk-angguk paham, menutup kembali botol dan meletakkannya diatas meja. "Yaudah, aku tunggu Mas di bawah yah"

Aku sudah akan berbalik tapi gerakan Ibrahim dua kali lebih cepat menangkap siku ku, menarikku sampai menabrak tubuhnya. Langsung pada dadanya yang terbuka dan basah. Jadi, dari tadi Ibrahim belum memakai apa-apa selain handuk yang sepertinya di lilit dibawah pinggang.

Tunggu, dia benaran masih pakai handuk kan?

Aku tidak tahu dimana tepatnya kedua tanganku mendarat diatas dada Ibrahim, tapi sesuatu yang kekar ini membuat jari-jariku bergetar.

Debaran jantungku lagi-lagi memacu hebat ketika Ibrahim membuatku terjebak dalam posisi ini dengan dia mengelus siku ku, bergerak maju untuk memojokkanku pada kursi meja rias. Situasi yang membuatku tidak tahu harus mengatur diri bagaimana, malah panik sampai berakhir terduduk di kursi.

Aku tahu, tanpa melihatpun aku bisa merasakan hawa panas yang menjalar di seluruh bagian wajahku berasal dari pantulan wajah Ibrahim yang berada sangat dekat. Bahkan aku bisa mendengar deru napasnya. Sialnya indraku yang lain bekerja lebih aktif ketika mataku tidak bisa melihat.

d'voiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang