Kita selalu butuh untuk bicara, menegaskan maksud agar tidak ada masalah. Atau kadang bicara, supaya kepala tidak hanya menerka.
🍂
D'florist adalah toko bunga yang ku buka sejak tiga tahun lalu. Bersama Nabila, kami membangun konsep mewah di tengah kota, menjadi toko bunga yang cukup lengkap, mengambil bunga-bunga segar langsung dari beberapa kebun bunga. Sehingga D'florist bukan hanya antara aku, Nabila dan pembelinya tapi juga menjalin kerja sama dengan pekebun bunga.
Kala itu, aku sedang berada dalam fase terbaik hidupku setelah tujuh tahun berjuang menghadapi kekacauan dalam kepala dan hati dengan terapi dan obat-obatan, kupikir aku sudah menang ketika aku bisa berjalan sendiri di dalam rumahku, melakukan hal-hal yang cukup rumit dengan kondisiku, membedakan sesuatu dari bau dan rasanya, bahkan hari itu aku menjadikan aroma bunga sebagai terapi untuk menenangkanku. Sehingga, hinggap di kepala untuk mengenali berbagai jenis bunga lalu membuka sebuah toko.
Maka wajar jika bagiku D'florist bukan hanya sekedar usaha, tapi lebih dari itu ini adalah kemenanganku, tanda keberhasilanku.
Aku mungkin pernah bilang bahwa di toko ini aku begitu hebat, aku bisa menjadi seolah-olah aku tidak kenapa-kenapa. Dan masih seperti dulu, bunga-bunga disini adalah terapi yang selalu berhasil membawaku pada ketenangan ketika kepalaku tidak lagi menemukan jalan keluar dari suatu masalah.
Tapi mungkin masalahku kali ini cukup berat, terlalu mengejutkanku yang tidak siap atau mungkin karena sudah terlalu banyak percaya.
Apa yang terjadi semalam di kamar adalah sesuatu yang tidak kuharapkan walaupun aku tetap berusaha mengerti. Aku berusaha mengerti bahwa mungkin apa yang Ibrahim katakan benar, kami mungkin memang belum siap, masih butuh waktu, entah itu untuk saling mengenal atau mengingat persoalan memiliki anak bukan juga perkara kecil. Tapi tetap saja, Ibrahim beranjak meninggalkanku di tepi ranjang dengan perasaan seperti ditampar oleh penolakan. Dan itu berhasil membuatku merasa kecewa.
Sehingga bahkan aroma bunga di D'florist pun tidak lagi berhasil menenangkan.
Untuk kesekian kalinya dalam dudukku, ku helah nafas dengan cara paling berat untuk melepaskan beban di bahuku. Tapi tetap saja, kepalaku pening oleh bingung.
Aku ingin bertanya, meminta penjelasan kepada Ibrahim tentang apa sebenarnya yang membuat dia bisa mengatakan bahwa kami belum siap sementara aku sangat jelas telah menyerahkan diriku kepadanya. Aku yakin dia menyadari itu semalam.
Tapi aku tidak yakin siap dengan jawaban Ibrahim. Dan pikirin negatif lebih dulu memenuhi kepalaku, wajar aku berpikir bahwa Ibrahim belum benar-benar siap dengan diriku, belum menerima diriku sepenuhnya, tentu saja aku menyadari betul keadaanku bukan sesuatu yang bisa dengan mudah dia terima. Aku tertawa sumbang, baru saja menyadari kebodohanku telah merasa begitu bahagia kemarin.
Berpikir telah dicintai hebat sampai lupa kalau ternyata cinta dan kasihan punya perbedaan tipis sedang persamaan hampir tidak bisa dibedakan.
Berpikir bahwa-
"Woi!!"
"Eh."
Aku menutup mata untuk menetralkan detak jantung ketika Nabila tiba-tiba menggebrak meja.
"Ngagetinnya gak lucu, Bil."
"Wajar, karena gue emang gak lagi ngelawak."
Aku mendengus dan memutar mata.
"Lo kenapa sih. Mikirin apa?"
"Apa? Gak ada."
"Ha ha. Makin jago aja lo gak bisa bohongnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
d'voice
Romance"Rasa kasihan." "Karena saya kasihan dengan kamu, karena itu saya akan menikah dengan kamu." Aku tersenyum getir mendengar pengakuan dan alasan yang baru saja diutarakan itu. Seperti tombak tajam yang menancap ke dadaku, fakta itu luar biasa menyak...