"Aku ridho, semoga kamu juga"
🍂
Jika saja bukan karena gaun panjang yang menutupi, orang-orang pasti sudah bisa melihat kakiku yang bergetar menahan berat tubuhku sendiri saat ini. Kupegang lengan Mama kuat untuk membantuku menopang diri.
"Jangan biarin Jia jatuh Mah!" lirihku memohon.
Pegangan Mama ditanganku menguat "Gak akan! Mama janji"
Dengan begitu, Mama membawaku melangkahkan kaki menginjak anak tangga pertama. Aku sungguh menghela napas dengan keras begitu kakiku mendarat dengan aman tanpa terkeok mengingat betapa sulitnya ini bagiku. Tapi aku belum bisa tenang, masih ada banyak anak tangga yang harus kuturuni untuk membawaku menuju pada seseorang yang telah menunggu dibawah sana.
Satu lagi anak tangga kuturuni dengan Mama benar-benar memegangiku sekuat tenaga.
Lalu satu lagi.
Kemudian ketika aku yakin sudah berada ditengah jalan, aku mendengar kesunyian, merasakan tatapan menghunusku dari banyak orang, membuatku tiba-tiba didatangi takut melangkahkan kaki.
Aku takut.
Aku tidak bisa melihat, aku takut jatuh.
"Mah!" langkahku terhenti, menggeleng kecil dengan napas tercekat.
"Sayang.."
"Jia gak bisa Mah" aku menggeleng
Pikiran tentang beban yang kubawa bukan hanya diriku sendiri membuatku semakin takut, karena aku tahu bahwa tamu yang hadir dalam acara ini banyak didominasi kolega bisnis Papa, sahabat-sahabat Mama dan tentu keluarga besar mempelai pria. aku hanya- aku tidak bisa membayangkan bagaimana mereka akan menilai Papa Mama dan pandangan mereka terhadap seseorang yang telah dipilih sebagai seorang istri.
Beberapa mungkin sudah tahu, tapi beberapa yang lain pasti sedang bertanya-tanya dan mencari tahu. ini membuatku lemah, sudah cukup aku membawa banyak rugi dalam hidup mereka. Jadi setidaknya kali ini aku tidak boleh berbuat salah.
"Rejia!" Mama menggenggam tanganku erat. "Mama gak akan biarin kamu jatuh, percaya sama Mama"
Aku tahu, aku bukan tidak percaya pada Mama, tapi aku tidak percaya pada diriku sendiri. "Gak bisa Mah-"
"Bisa!"
Aku reflek menoleh mendengar suara lembut tiba-tiba muncul. Selagi aku sibuk menerka siapa, orang itu meraih tanganku untuk bisa mengenggamnya sekuat genggaman Mama.
"Bunda sama Mama yang pegangin."
Aku terdiam menyadari sesuatu ketika Mama menautkan kembali jari dan Bunda, yaitu tante Diana melakukan hal yang sama pada tanganku yang lain. Aku hampir lupa, bahwa akad yang Ibrahim ucap atas diriku bukan hanya membentuk hubungan antara aku dengan dirinya, lebih besar dari itu, kami telah membuat perjanjian antara dua keluarga. Dengan tanpa mengurangi bagaimana perasaan yang kumiliki terhadap Mama aku juga harus memilikinya terhadap Bunda, begitu pula dengan Papa dan Ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
d'voice
Romance"Rasa kasihan." "Karena saya kasihan dengan kamu, karena itu saya akan menikah dengan kamu." Aku tersenyum getir mendengar pengakuan dan alasan yang baru saja diutarakan itu. Seperti tombak tajam yang menancap ke dadaku, fakta itu luar biasa menyak...