Eps. 4

522 422 104
                                    

“Tidak sepantasnya seorang guru membuat malu dengan meledek fisik muridnya sebelum mengaca

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tidak sepantasnya seorang guru membuat malu dengan meledek fisik muridnya sebelum mengaca.”

- Alice.

•••••••

Toxic warning ⚠️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Toxic warning ⚠️

•••••••

Hari Rabu telah tiba, semua murid SMA Bangsa Indah akan mengikuti tes IQ sesuai pemberitahuan. Tes untuk mengetahui seberapa pintar masing-masing anak. Namun, hal itu juga untuk mengetahui mental masing-masing dari kita. Aku terlalu berharap jika hasil tes akan lebih tinggi dari biasanya.

Aku berangkat sekolah pagi-pagi sekali bersama Letta. Awal-awal pagi saja membuat mereka panik, karena aku masih belum siap untuk berangkat bersama, aku malah memberitahu Letta jika diriku sudah siap. Alhasil aku memakai sepatu di depan rumahku dengan terburu-buru sembari menunggu kedatangan Letta.

Sesampainya di Sekolah, ternyata aku bertemu dengan Reyna di lapangan, entah Reyna datang dari mana. Aku benar-benar terkejut dengan kedatangan Reyna yang tiba-tiba menepuk pundakku. Pikiran tentang harapan hasil tes IQ yang tinggi membuatku melamun dan berakhir terkejut dengan kedatangan Reyna.

“Jer, jantung gue.” Tanganku mengusap-usap dadaku. Detak jantungku berdetak lebih keras daripada sebelumnya. Diriku juga semakin khawatir jika aku mempunyai penyakit jantung, seperti Ibuku.

Bagaimana aku tidak terkejut,.jika Reyna datang dengan menepuk pundaknya saat aku berjalan dengan tenang. Tepukan pundak itu mengingatkanku akan memori-memori kecil yang diriku dan Reyna ciptakan saat menjadi angkatan dua. Memori yang begitu indah dan perlahan hancur.

Kedua tangan Reyna mengulur di depan dadaku dan membentuk sebuah wadah. “Sini jantung lu, biar gue jual buat beli hape.” Ia tersenyum tanpa rasa bersalah.

Aku tentu tak terima, aku langsung berusaha membela diri dari orang keras kepala itu. “Sini ginjal lo, tuker kita.” Tangannya terulur, membentuk sebuah wadah yang siap menerima ginjal Reyna. Aku ikut tertawa.

Parkojon. [ Terbit ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang