Handara sempat dirawat beberapa hari akibat insiden serangan anjing waktu itu. Beruntung Handara masih bisa diselamatkan oleh seorang polisi yang tengah patroli. Polisi itu menembak mati anjing yang telah menyerang Handara dan Gavin. Kondisi Gavin juga baik-baik saja, mungkin ia hanya sedikit mengalami trauma, sikap Gavin menjadi lebih pendiam usai mengalami tragedi itu.
Sekarang Handara sudah pulang ke panti asuhan. Ia tengah beristirahat di kamarnya. Luka di bagian bawah leher Handara cukup panjang sampai membutuhkan delapan jahitan. Dokter bilang Handara baik-baik saja sejauh ini, tidak ada gejala rabies sama sekali, Miranda sangat mengucap syukur atas itu. Ya mungkin hanya luka gigitan itu yang harus Miranda perhatikan.
"Maafin Han ya, Ibu..." lirih Handara. Ia duduk di pinggir ranjang karena sedang disuapi makan malam oleh Miranda.
Miranda menggeleng. "Ibu yang harusnya minta maaf karena lalai menjaga kamu dan Gavin."
Kepala Handara menunduk dalam. Ia menyesal telah melanggar peraturan panti. Ia menyesal sudah menjadi anak nakal. Dan lihatlah sekarang yang terjadi akibat perbuatannya, ia terluka. Kini Handara tahu mengapa Miranda sampai tidak mengijinkan anak-anak keluar dari area panti, sebab diluar sana ternyata sangat berbahaya.
"Kamu habiskan sendiri ya, ibu ada telepon," ucap Miranda tiba-tiba. Wanita itu menyerahkan piring yang ia pegang kepada Handara. Kemudian ia pergi keluar kamar.
Handara tidak melanjutkan makannya, ia malah terdiam. Mendadak ia teringat dengan Gavin. Kebetulan setelah insiden mengerikan itu terjadi, Handara belum bertemu lagi dengan Gavin. Handara khawatir, apakah Gavin baik-baik saja?
Beberapa menit berlalu, dan Handara masih diam di posisi tadi. Sambil memangku piring yang nasinya masih banyak. Ia melamun. Namun lamunannya seketika buyar saat suara decitan pintu terdengar.
Handara menoleh kearah pintu, nampaklah Miranda bersama Gavin yang berdiri di ambang pintu. Handara tersenyum senang, akhirnya ia bertemu dengan Gavin.
"Vin?" panggil Handara. Ia segera meletakkan piringnya di nakas lalu bergegas menghampiri Gavin.
"Han, kamu masih sakit?" tanya Gavin.
"Nggak, kan sudah diobati."
Kini Gavin menundukkan kepalanya. "Maafin aku ya. Aku salah ngajakin kamu main," ujar Gavin penuh penyesalan.
"Gapapa, Vin. Aku seneng kok. Aku gak sakit," kata Handara jujur. Ia tidak ingin Gavin bersedih dan tidak mau bermain dengannya lagi.
Miranda yang hanya menyimak percakapan antara kedua bocah itu tersenyum kecil, tangannya mengusap surai Gavin penuh kasih sayang.
"Gavin nggak salah. Semua ini sudah takdir, yang penting Handara tidak apa-apa kan?" tutur Miranda, mencoba menenangkan perasaan Gavin yang pastinya merasa bersalah.
"Iya, denger kata ibu," tambah Handara.
Gavin pun mengangkat kepalanya lagi. Ia menatap Handara dengan sendu. "Aku janji akan jagain kamu seperti kamu jagain aku dari anjing itu," tekad Gavin bulat-bulat.
Senyum merekah terbit diwajah Handara. Anak itu mengangguk setuju. "Bagus," pekiknya senang.
Melihat itu Miranda juga ikut tersenyum senang.
"Han. Sebenarnya aku mau pergi," ucap Gavin tiba-tiba.
Handara mengerutkan keningnya. "Pergi kemana?"
"Ke rumah baru aku. Ibu bilang aku akan punya ayah dan ibu," jelas Gavin.
Mata Handara berbinar mendengarnya. "Wah! Keren! Aku boleh ikut?"
KAMU SEDANG MEMBACA
HANDARA
Teen FictionHandara Yudistira tidak pernah meminta untuk dilahirkan. Ia tidak pernah meminta permintaan maaf dari siapapun, tidak pernah memohon belas kasih dari manapun. Yang ia inginkan hanyalah pengakuan sang ibu. **** Artis terkenal melahirkan seorang anak...