HANDARA : 04

578 70 14
                                    

Pagi harinya, Handara tidak mau beranjak dari kasur. Yang ia lakukan ialah menyelimuti diri sampai kepalanya pun tertutup. Handara tahu ia akan diadopsi. Jadi ia merasa sedih, ia tidak rela meninggalkan panti asuhan yang sudah menjadi rumahnya selama enam belas tahun ini.

Namun mengingat kondisi fisiknya yang sekarang, Handara terus berpikir kembali. Ia semakin sering merasakan sakit di dadanya dan beberapa kali mengalami sesak napas setelah melakukan aktivitas berat. Handara juga menyadari bahwa tubuhnya tidak sekuat yang dulu. Mungkin jantung Handara memang sudah semakin rusak. Jika tidak diobati dengan cepat, Handara tidak tahu apa yang akan terjadi kepadanya nanti. Handara betul-betul masih ingin hidup Ya Tuhan.

Tok, tok, tok...

Ketukan pintu terdengar, membuat Handara mau tak mau turun dari kasur untuk membuka pintu kamarnya.

"Ibu?" Handara sedikit terkejut melihat kedatangan Miranda bersama seorang pria.

Handara melirik Miranda dan pria itu bergantian. "Ada apa?" tanya Handara kemudian.

"Handara, beliau adalah orang yang ingin mengadopsi kamu. Namanya Pak Ferdian," ungkap Miranda.

Handara menelan ludahnya. Jadi ia benar-benar akan diadopsi?

"Ibu, tapi?" Handara menahan ucapannya, hal itu membuat Ferdian mengerti.

"Saya akan menunggu di luar," ucap Ferdian yang kemudian pergi membiarkan Handara dan Miranda berbicara empat mata.

"Ibu serius? Han akan diadopsi?" tanya Handara, masih tak menyangka. Sebab ini adalah pertama kalinya ada orang yang ingin mengadopsi dirinya.

Miranda mengangguk mantap. "Ini sudah waktunya. Ibu harap kamu mau diadopsi oleh beliau, Han."

Sorot mata Miranda tidak bisa berbohong. Ia sangat berharap Handara mau menerima Ferdian sebagai keluarga barunya.

Pikiran Handara berkecamuk didalam sana. Jujur jika boleh memilih ia ingin tetap tinggal di panti. Namun saat mengingat pembicaraan Miranda bersama Ferdian kemarin malam, sebaiknya Handara memang menyetujui keputusan Miranda. Handara tidak ingin menjadi beban untuk Miranda. Handara tidak mau merepotkan Miranda terlalu lama. Ia harus berani mengambil jalan yang baru. Ia harus berusaha mengubah nasibnya. Dan mungkin dengan cara adopsi ini, semua harapan Handara bisa terwujud.

Handara pun mengangguk lemah. "Han mau Bu," putusnya bulat-bulat.

Miranda tersenyum senang mendengarnya. Untunglah.

***

Handara sudah membereskan barang-barang miliknya kedalam koper. Ia juga sudah berpamitan dengan saudara-saudaranya. Sekarang Handara tengah berjalan menuju gerbang, dimana sudah ada Miranda dan Ferdian yang menunggunya disana.

"Itu dia," ucap Miranda setelah melihat Handara mendekat. "Sudah beres semuanya, Han?"

"Sudah, Bu."

"Kamu yakin gak ada yang tertinggal?"

Handara menjawabnya dengan gelengan kepala. Miranda pun menghela napas sebentar, lalu bergerak merapihkan penampilan Handara yang sedikit acak-acakan, terutama rambutnya.

"Kamu gak sisiran?"

"Udah kok."

Miranda merapihkan rambut Handara yang tertiup angin. "Mulai sekarang kamu sudah memiliki keluarga baru, kamu harus bersikap baik, patuhi ucapan Pak Ferdian dan istrinya nanti. Juga... Jangan lupa minum obat, kamu harus tetap sehat. "

Handara mengangguk paham.

"Jangan pernah lupa sama ibu."

"Gak mungkin."

HANDARA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang