HANDARA : 08

203 28 0
                                    

Pesanan Handara sudah datang. Nasi goreng dengan telur dadar di atasnya. Aromanya membuat Handara tak sabar ingin segera menyantap makanan berlemak itu. Namun, saat ingin menyendok nasi goreng tersebut tiba-tiba piring nasi gorengnya direbut oleh seseorang. Handara menoleh dengan raut tak suka.

"Lo ngapain?" tanya Handara pada murid laki-laki yang berdiri di depan mejanya.

"Gue laper," jawab murid itu yang tak lain adalah Gama.

"Lo bisa beli sendiri." Handara hendak merebut kembali piring nasi gorengnya, namun Gama menahannya. Aksi tarik menarik pun terjadi sebentar sebelum akhirnya piring itu terjatuh dan pecah di lantai. Suara gaduh itu menarik banyak perhatian orang-orang.

Handara menatap nasi gorengnya yang berserakan dengan wajah terkejut. Lalu Ia melirik Gama dengan tatapan mematikan.

"Wah, lo bikin nasi gue jatuh," kata Gama dengan wajah sedih dibuat-buat. Tanpa tahu malu sekali, padahal nasi itu milik Handara.

Handara semakin naik pitam. Kedua tangannya sudah terkepal erat. Ia ingin menghajar Gama, namun ia menahannya.

"Kenapa lo? Mau marah?" tantang Gama setelah melihat wajah Handara yang merah padam. Gama tersenyum sungging karena Handara tak melakukan apapun. Gama yakin Handara tidak punya nyali untuk melawannya.

"Cupu lo," decak Gama yang kemudian melangkah pergi.

Handara memejamkan matanya sambil menghela napas gusar, berusaha meredam emosi. Ia bisa saja menghajar Gama, namun ia sadar diri dengan kondisi fisiknya. Sekarang saja jantungnya terasa berdenyut nyeri. Handara harus menenangkan dirinya demi kesehatan jantungnya.

Sementara disisi lain Micki tersenyum puas melihatnya. Ia tidak akan berhenti mengusik Handara sebelum anak itu enyah dari sekolah ini, kalau perlu dari kehidupannya sekalian.

***

Pulang sekolah, Handara adalah murid yang terakhir keluar dari kelas. Ia berjalan lesu menyusuri lorong sekolah yang mulai sepi. Sejenak Handara berhenti di lapangan sepak bola. Ia mendongak memperhatikan gedung sekolah yang megah nan tinggi. Sekolah ini sangat bagus, namun Handara tidak bisa menikmati keindahan yang ada di dalamnya.

Handara pikir kehidupan sekolah akan terasa menyenangkan seperti yang diceritakan orang-orang. Tapi kenyataannya, hanya rasa sakit yang Handara Terima disini. Mungkin Ia memang tidak pantas mendapatkan kehidupan yang baik di sekolah. Atau bahkan Ia tidak pantas bersekolah sama sekali. Mendadak Handara teringat dengan Miranda. Ibu asuhnya itu benar, Handara tidak akan sanggup menjalani kehidupan di sekolah.

Handara menghela napas dalam-dalam. Lalu kembali melanjutkan langkahnya menuju gerbang. Begitu keluar dari gerbang, Handara melihat sebuah mobil Sport terparkir di seberang jalan. Handara tahu itu adalah mobil Micki.

"Woy anak pungut!" teriak Micki setelah menurunkan kaca mobilnya.

Handara hanya menatapnya dengan wajah datar.

"Baru pulang lo? Mana ayah gue yang selalu siap siaga jadi supir lo?" ledek Micki.

Handara menggertakkan giginya. Menghadapi Micki hanya akan membuatnya emosi. Lebih baik Handara segera pergi dari sana.

Dengan langkah cepat Handara berjalan menjauhi sekolahnya, saat ada angkutan umum Handara segera menghentikannya dan masuk kedalam.

Micki tersenyum miring melihat kepergian Handara. Lihat saja. Ia akan membuat Handara cepat-cepat pergi dari sekolah.

***

Keesokan harinya, saat di kelas, seperti biasa Handara akan duduk tenang di kursinya sambil membaca buku. Hiruk-pikuk suasana di kelasnya tak membuat Handara terusik. Lain hal dengan Naki yang sesekali berteriak kesal saat orang-orang terlalu berisik dan mengganggu tidurnya.

HANDARA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang