Ari tidak sadarkan diri selama hampir 3 hari setelah operasi. Dokter memberinya obat bius dosis tinggi karena jika tidak, dia akan terbangun dengan rasa sakit yang entah bagaimana mereka menyebutnya.
Nenek bercerita banyak tentang laki-laki ini. Dia memakai seragam sekolah yang sama dengan Ari. Dia datang tiap pagi sebelum berangkat dan sore hari sepulang sekolah. Dia juga sempat ikut mengantar ke rumah sakit pada saat itu.
Orang yang sama dengan orang yang menyelipkan kertas di lokerku.
Ari tak yakin masih ingin menyelesaikan sekolahnya meskipun bulan ini adalah bulan terakhir sebelum kelulusan. Tahun terakhir adalah tahun yang teramat berat baginya.
Kemarin, Ari genap berusia 18 tahun. Dia tak menerima apapun dari siapapun. Hanya ucapan selamat dari beberapa gurunya. Dan nenek. Dia memberikan kalung dengan liontin hati yang terbuat dari perak. Tak bernilai seberapa namun sangat berharga.
Dengan berat hati Ari melangkahkan kaki ke sekolah. Dia menyumbat telinganya dengan earphone dan menekan tombol volume hingga indikasi volumenya berwarna merah. Dia mengenakan hoodie hitam dan menelungkupkan tudungnya hingga menutup separuh pengelihatannya.
Ari menghela napas dalam sebelum melangkahkan kaki ke dalam gerbang sekolah - yang menyedihkan. Baginya, gerbang itu memiliki seribu satu kutukan untuknya jika dia melangkahkan kakinya masuk. Langkahnya berat seolah sepatunya adalah sepatu yang dipakai para astronot untuk berjalan di bulan. Dia berjalan pelan sekali.
Terkutuklah aku.
Ari tak sedikitpun mengangkat wajahnya karena dia tahu pasti apa yang akan dia lihat. Tatapan sinis, dendam, kebencian dan kata-kata 'beracun' itu, semoga pendengarannya benar-benar terhalang Faint dari Linkin Park.
Namun tidak. Sebuah kata menghentikan langkahnya.
"Kurasa seseorang lebih pantas singgah di rumah bordil diseberang sana daripada harus kemari. Sampah."
Pendengarannya masih bisa mentolelir kata 'sampah' yang terlontar dari mulut kotor mereka, namun maksud dari kalimat itu, tidak.
Darahnya benar-benar mendidih kali ini. Ari membuka tudung dan penyumbat telinganya. Dia mengepalkan kedua tangannya dan menatap ketiga lelaki itu dengan tatapan membunuh.
"Kenapa?! Kenapa kau melihatku seperti itu? Kau tak suk..."
BUAKKK!!!
Satu pukulan mendarat tepat di pelipis kiri lelaki itu, membuatnya tersungkur ke arah kedua temannya dan membuat ketiganya jatuh ke lantai. Sekali lagi Ari berusaha mengayunkan tinjunya namun sebuah genggaman menahan tangannya erat, satu berusaha menahan tubuhnya dan membawanya menjauh, dan yang satu lagi, entah apa yang ia katakan kepada ketiga pecundang itu. Emosinya terlalu tinggi untuk mendengar suara apapun. Ari berjalan bak seorang puteri yang dikawal ajudannya.
"Tanganmu ini, tak pantas menyentuh mereka." Kata lelaki yang sedari tadi menggenggam tangan Ari dan mengusapnya lembut.
Tak sedikitpun Ari menoleh. Dia hanya merasakan ledakan kecil di perutnya yang membuatnya geli.
"Kau baik-baik saja?" Kata lelaki yang ketiga. Ari mengangguk. "Kami harus ke kelas." Lanjutnya dan mencoba mencari wajah Ari yang tertunduk. Dia tersenyum dan berlari menjauh bersama satu temannya. Tinggal seorang lagi, yang masih menggandeng tangan Ari.
"Stay strong beautiful." Bisiknya. Ari seperti disengat dan mendongakkan wajahnya untuk melihat laki-laki itu. Dia tersenyum pada Ari dan berlari menyusul kedua temannya.
"Remember that!"
Ari masih bergeming dan menatap nanar punggungnya hingga ia menghilang diujung koridor. Tak satupun kata keluar dari mulutnya meskipun gumaman terimakasih.
Dia...
KAMU SEDANG MEMBACA
The Golden Smith (COMPLETE)
FanficMalam ini sangat sunyi dan dingin, tidak seperti biasanya. Sepanjang jalan juga terlihat hanya beberapa kendaraan yang beralu-lalang. Gadis itu masih terduduk di sudut kamarnya, dengan asap rokok dan tetesan darah dari beberapa goresan pisau cukur d...