Chapter 7

260 23 2
                                    

Sinar mentari menerobos leluasa dari jendela kamar Ari yang tirainya sengaja tidak pernah dia tutup. Aroma pagi yang khas setelah diguyur hujan semalaman, menyeruak indera pembauan. Bayangkan saja jika hidup selalu sedamai ini. Tidak. Itu semua bohong. Hidup itu seperti permukaan air laut, kadang tenang dan tak jarang bergelombang.

Pagi itu Ari duduk di meja makan lengkap dengan piyama dan sandal bulu dengan karakter monyet di atasnya. Neneknya memasak telur dadar dengan paprika merah dan keju. Sarapan kesukaan. Ari hanya menatap sarapannya tanpa menyentuhnya. Neneknya yang menyadari itu hanya tersenyum. Iya, hari ini dia bolos sekolah lagi. Kalian pasti sudah tahu kenapa.

"Kau tak ingin memakannya? Karena makanan itu tak akan melompat dengan sendirinya ke mulutmu."

Dia hanya tersenyum lesu dan memandangi neneknya. Guratan tua di wajahnya makin terukir jelas saat dia tersenyum.

Nek. Bagaimana jika besok, aku sudah tidak bisa melihatmu tersenyum lagi? Bagaimana jika besok kau sudah tak bersamaku lagi? Apakah aku bisa berdiri dengan kakiku sendiri? Siapa yang akan membangunkan aku tiap pagi? Siapa yang akan membuatkan aku sarapan? Lalu siapa yang akan menyambut dan memelukku tiap aku pulang sekolah?

Nek. Ingin sekali aku membagi bebanku denganmu, tapi aku takut karena kau sudah terlalu tua untuk mendengar tangisan bodohku tiap hari. Ingin sekali aku menangis di pundakmu hingga aku terlelap, dan berpura-pura bahwa semua ini hanya mimpi.

Nek. Hanya kau yang aku miliki saat ini. Jika nanti kau pergi, aku sudah tak punya siapa-siapa lagi. Apakah aku akan bertahan dengan semua ini jika nanti aku benar-benar sendiri? Bagaimana dengan masa depanku nanti? Lebih baikkah? Lebih hancurkah?

Tak terasa air mata meluncur di pipi kirinya. Segera mungkin dia mengusap dengan punggung tangannya agar tak terlihat oleh sang nenek.

"Nenek sayang padamu. Jangan kau buat nenekmu yang sudah tua ini mati karena serangan jantung. Nenek masih ingin melihatmu tersenyum dan tumbuh menjadi gadis dewasa yang anggun."

Sedih. Bersalah. Hanya itu yang dirasakan.

Sore itu neneknya pergi ke swalayan untuk berbelanja isi dapur. Dia tahu wanita tua itu akan segera kembali karena ia tahu bahwa dirinya akan melakukan hal-hal bodoh yang pernah dia lakuan sebelumnya.

Ari berjalan ke dapur dan mencari 'teman' yang akan mengantarkannya bertemu dengan Tuhan. Pisau buah.

Sebelum suara-suara datang dan berdengun di kepalanya, Ari tersenyum dan berkata 'Hai! Kali ini kau harus mengantarkan aku bertemu Tuhan." kepada 'teman'nya - pisau dapur - dan menghunuskannya tepat dimana lambungnya tertanam. Cairan merah mengalir disela pisau dan kulitnya. Dan benar saja! Dalam hitungan detik, kolam darah telah tercipta di depan mata.

Ari sudah tak mampu menopang tubuhnya lagi. Dia berlutut dan menangis menahan rasa sakit. Dengan sisa tenaga yang dimiliki, Ari mencabut pisau yang telah menancap dan menghunuskannya sekali lagi dimana hatinya tertanam.

Tubuhnya terjatuh. Hawa dingin seketika menyergap hingga ke ubun-ubun. Darah yang mengalir dari tubuhnya menyentuh hangat di lengan dan kaki. Perlahan dia menutup mata. Berjumpa dengan kegelapan.

Mungkin inilah ajalku.

The Golden Smith (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang