11

397 37 2
                                    

Hari ketiga setelah aksi 'penggerebekan' oleh orang tua Renjun di kontrakan kecil mereka. Sama halnya dengan Renjun, keadaan Jeno tak jauh berbeda. Namun untungnya Jeno masih sadar, tepatnya disadarkan oleh mbak Irene dan tante Jennie yang datang sejak ia beritahu setelah kejadian itu.

Pada dasarnya Jennie sadar kalau hal ini akan terjadi walaupun ia tak tahu entah kapan. Hingga malam itu ia dihubungi Jeno dengan suara serak dan isakannya yang menyayat. Jennie yang malam itu dihubungi tidak bisa langsung datang karena ia sedang dalam perjalanan kembali dari acara liburan keluarga.

Esoknya Jennie datang, melihat keadaan Jeno yang sudah ia wanti-wanti sejak malam untuk tidak melakukan hal bodoh, ia juga meminta Irene yang sudah cukup akrab dengannya untuk memantau keadaan Jeno. Kalau dilihat dari bekas keunguan dan sobeknya ujung bibir Jeno, sudah Jennie pastikan kalau kejadian kemarin terjadi cukup brutal. Ia hafal dengan perangai Yuta yang keras dan kasar. Iparnya itu sangat mengerikan.

"Jen makan dulu, tante tahu sejak kemarin kamu engga makan kan?" tanya Jennie yang baru saja masuk ke dalam kamar pemuda itu.

Jeno termenung, lagi dan lagi. Jennie menghela napas pelan. Kemarin malam setelah ia dari kontrakan Jeno, ia dan seuaminya —Mino, dikejutkan oleh kedatangan Yuta dan Wendy di kediamannya. Sudah ia duga.

"Mbak sudah dari tadi?" tanyanya basa basi pada dua manusia yang sudah terlihat nyaman duduk di sofa ruang tamunya.

"Sudah setengah jam yang lalu ma. Tehnya aja sudah mau dingin." Itu celetukan Hyunsuk, anak sulung Jennie yang memang sejak tadi menemani paman dan bibinya yang bisa ia katakan datang dengan aura yang tidak mengenakkan. Entah masalah apa yang datang, pikirnya.

Jennie yang mendengar terkekeh, "Abang masuk dulu ya, temenin doyoung belajar." Pinta Jennie yang langsung dituruti Hyunsuk.

Hening sejenak, Jennie berbagi lirikan ujung mata dengan suaminya. "Mbak tumben kes—"

"Kami sudah tahu Jen." Belum sempat Jennie bicara, perkataannya sudah keburu terpotong dengan kalimat Wendy yang membuatnya bungkam.

"Mbak—"

"Kami juga tahu kalau kalian baru dari tempat menjijikkan itu, benar 'kan?" itu Yuta, dengan mulut licinnya.

Jennie kembali tertegun, tak bisa menjawab dan itu dinyatakan sebagai jawaban 'iya' untuk Yuta dan Wendy.

"Kalian tak ada niatan minta maaf untuk kejadian ini? Seharusnya kalian mohon maaf karena sudah menyembunyikan fakta ini dari orang tua kandung Renjun sendiri." Jennie seketika menatap intens Yuta setelah dilayangkannya pertanyaan itu.

"Maaf? Mas sehat 'kan?" tanya Jennie balik.

"Maksud kamu?" Yuta menyerngit tak mengerti.

"Aku bahkan engga ngebayangin kalau mas sama mbak bakal lebih dulu tahu dari pada aku. Aku gak ngebayangin apa yang akan terjadi sama keponakan aku." Jawab Jennie dengan santainya dan hal itu berhasil menambah guratan tak suka dari pria berdarah Jepang itu.

"Tahu apa kamu? Kami orangtuanya, dan apa yang baik untuk Renjun itu kami yang memutuskan."

Jennie terkekeh —lebih tepatnya tertawa hambar. Lucu sekali kedua kakaknya ini, apa mereka tak pernah sadar apa yang sudah mereka berdua lakukan itu adalah hal yang paling menjijikkan melebihi apapun yang pernah Jennie tahu.

"Terbaik? Dengan membenci anakmu sendiri itu yang terbaik, mas? Astaga ini terlalu lucu." Ejek Jennie yang masih lengkap dengan tawanya.

Yuta menggeram rendah, tanggannya sudah mengepal bahkan keningnya yang menyerngit menampakkan sembulan otot-otot tanda amarah yang meningkat. Tapi sayang, hal itu tidak membuat perempuan cantik berambut panjang itu takut. Jennie sudah muak dan Jennie ingin kali ini ikut bertindak. Benar, jika saja keponakannya itu tak menemuinya lebih awal maka tak pernah ia tahu masa depan mana yang akan Renjun alami.

Bad and Good Day | NOREN story | End ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang