10

426 39 4
                                    

Semesta.. apa guna air mata ini kalau hujan di luar sana nyatanya lebih deras, apa guna sepi disini kalau nyatanya jalanan yang biasa dilewati lebih dingin dan menyiksa. Apa mau mu wahai semesta?

Diri ini tahu, apa yang sudah terjadi adalah sebuah kesalahan besar yang penyelesaiannya tak semudah membalik telapak tangan. Tapi apakah harus dengan begini? Rasanya sungguh sesak, nafas ini sudah bukan memburu lagi, bahkan gemuruh yang ada di dada seolah saling sapa dengan gemuruh yang datang malam ini.

Apa ini hadiah dari mu hari ini wahai langit? Tidak puaskah engkau memberikan satu kotak besar hadiah padaku hari ini? lalu ini ditambah lagi. Aku harus bilang apa? Terimakasih? Itu yang kau mau? Maaf, lidahku sudah kelu dan tak berminat untuk mengucap barang sekata. Mungkin lain kali.

Ketika semuanya kurasa sudah harus berakhir.

*

Bertemankan malam yang dingin juga iringan rintik air yang menyapa bumi sejak sore tadi, Renjun termenung diujung ranjangnya.

Ranjang dingin sedingin hatinya. Bibir pucat itu tak terbuka sejak ia kembali menginjakkan kaki di tempat yang biasanya ia sebut rumah. Rumah besar nan mewah. Kalau dipandang dari luar, pasti semua orang akan berkata bahwa hidupnya akan sangat luar biasa bahagianya.

Nyatanya, separuh hidupnya saja entah apa bisa disebut sebagai bahagia.

Rumah ini, yang kemegahannya bagai surga tapi hening yang menyiksa bagai neraka.

Mata yang sembab, muka air yang sendu, surai yang sudah bisa mempresentasikan sarang burung belum jadi, penampilan yang acak-acakan adalah deskripsi bagus untuk Renjun hari ini. Jemarinya bahkan sudah saling siksa sejak tadi dan Renjun tetap diam seolah mati rasa walaupun darah sudah mengalir dari selah kuku kedua ibu jarinya.

Bagi Renjun sakit di kukunya belum seberapa jika dibandingkan dengan sakit di hati yang ia rasakan sekarang.

Sejak kejadian dua hari lalu itu Renjun kehilangan hidupnya, bahkan untuk sekadar makan saja ia sudah ogah-ogahan. Dua hari ini hanya air mata tanpa isakan yang ia tampilkan.

Cklek

Pintu terbuka dan Renjun tak peduli itu. Wendy menghela napas kala mendapati buah hatinya menatap jauh hujan dibalik jendela kaca yang tirainya dibiarkan terbuka itu. Entah apa yang diterawangnya.

Wendy mendekat pada Renjun setelah meletakkan semangkuk sup ayam dan nasi lengkap dengan segelas susu dan beberapa botol vitamin.

"Mama bawain sup ayam kesukaan kamu tuh, makan dulu ya. Mama khawatir Renjunie mama belum makan dari pagi. Makan yuk honey."

Tak ada jawaban pula tak ada pergerakan barang sesentipun.

"Mama suapin ya? Sebentar." Wendy beranjak mengambil satu nampan lengkap itu. Menyendok sedikit nasi dan potongan kecil ayam. Ia arahkan sendok itu pada Renjun, dan lagi-lagi tak ada pergerakan. Bibir pucat itu seolah direkat kuat.

"Juni makan ya? Nanti sakit, kalau Juni sakit nanti mama sedih. Makan ya."

Tetap tak ada pergerakan. Wendy menghela napasnya pelan. Tiba-tiba kepalanya kembali memutar kejadian mengejutkan dua hari lalu, saat ia temui kesayangannya ada pada kondisi yang sungguh tak ia harapkan.

Berawal dari ia yang tak sengaja bertemu kangen dengan sang sahabat lama saat pertemuan bisnis beberapa petinggi perusahaan besar di Paris, dan disitu ada satu sosok yang sepertinya tak asing di matanya.

"Jihoon kan?" tanya Wendy, yang disapa mengembangkan senyumnya.

"Loh kamu kenal anakku?" jawab Yoona selaku ibu pria yang baru saja datang bergabung meninggalkan sang ayah yang asyik mengobrol dengan rekan-rekannya.

Bad and Good Day | NOREN story | End ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang