SATU

447 14 9
                                    

"Lari ke sana Gia!"

Gia segera mengubah arah larinya, menuju ke kiri sesuai perintah Nanda, sahabatnya. Dia terus berlari sambil menengok apakah dua kakak beradik sahabatnya berhasil berpencar.

Mereka sudah ke arah kanan jauh dari pandangan.

Pria-pria itu masih terus mengejar. Gia segera melompati tembok, menuju perkampungan. Dia sudah paham jalanan di sini. Sudah hampir sebulanan dia di sini. Gia memperlambat larinya ketika sampai di perempatan. Seingatnya di sekitar sini ada kebun. Lalu di kebun itu ada semacam gubuk berisi kayu-kayu tua. Gia berencana sembunyi di sana.

"Ayo, cewek itu ke sana!" Gia mendengar suara keras salah satu pengejarnya. Tanpa ragu lagi dia bersembunyi.Para pengejar Gia celingukan di perempatan.

"Ke mana larinya itu cewek?"

"Sialan cepet bener larinya!" Lalu salah seorang dari mereka melihat gubuk di tengah kebun. "Coba cek di sana. Nggak mungkin dia udah keluar dari daerah sini secepat itu. Dia pasti sembunyi."

Gia menutup mulutnya, mencegah pekik keluar dari tenggorokannya. Para pengejarnya segera menuju ke gubuk itu. Gia menata jantungnya yang berpacu. Semoga jangan kesini, semoga jangan kesini...

BRAK! Gubuk dibuka.

Tidak ada siapa-siapa.

"Nggak ada di sini!"

"Coba cari di semak-semak!"

Setelah beberapa menit berkutat di sana, para pengejar Gia menyerah.

"Udah laporan aja sama bos. Sekarang kita bantu ngejar lainnya." Mereka pergi. Gia langsung keluar dari drum sampah dedaunan untuk bahan pupuk. Bau khas daun-daunan busuk menguar dari tubuh Gia.

"Haaaah, sialan," maki Gia. Dia mengatur nafasnya. Mencoba mencari udara segar sebanyak-banyaknya. Gia bimbang, apakah harus ke rumah Nanda sekarang atau menunggu sampai keadaan aman. Sepuluh menit duduk di bawah pohon trembesi, handphone Gia berbunyi.

"Gia?"

"Nanda!" pekik Gia, "gimana?"

"Gue sama Satria selamat. Ikut truk buah."

"Terus?"

"Lo bisa balik sekarang. Kata ibu gue orang-orangnya Gandot udah pada pergi."

"Ibu kamu nggak apa-apa?" tanya Gia khawatir.

"Tenang, ibu gue kuat kok. Paling dimaki."

"Kamu sama Satria gimana?"

"Kita mungkin bakal ke Bogor. Dua hari atau tiga hari. Ada saudara gue di situ. Mungkin kita bisa pinjem duit," ujar Nanda. Gia menghela nafas lega.

"Oke aku balik ke rumah. Hati-hati kalian berdua."

Gia melangkah gontai. Selama menuju rumah Nanda di daerah slum ibukota, pikiran Gia justru tertuju pada tempat yang seharusnya dia sebut rumah. Rumah megah di kawasan perumahan elit. Home is where your heart belongs. Tapi sudah cukup lama Gia menganggap tempat itu bukan rumahnya. Hati Gia tidak ada di sana. Bertengkar hebat dengan ayahnya dan wanita simpanannya, Gia memutuskan untuk keluar dari rumah itu. Gia pikir, kepergian Gia akan membuat Ayahnya sadar. Tapi justru lebih parah.

Semua credit card dan akses finansial Gia diblokir. Gia hanya membawa tunai sekitar beberapa ratus ribu dan baju yang melekat di badan. Gia tidak boleh memakai mobil. Dulu, mungkin Gia terlalu dimudahkan dengan keadaan ekonomi orangtuanya. Tapi sekarang Gia harus berjuang seperti kucing liar. Karena harga diri Gia yang terkoyak tidak akan mau mengemis kepada Ayahnya ataupun tatapan menghina wanita simpanannya.

Gia juga tidak mau menyusahkan teman-temannya. Dia bisa saja tinggal di salah satu apartment atau rumah temannya. Tapi Gia tahu, kebaikan teman-temannya akan menjadi rasa jijik kalau lama-lama dia jadi parasit. Lebih baik bagi Gia, sekalian saja dia hilang dari kehidupan sosialnya selama ini.

Lalu saat Gia luntang-lantung di jalan dengan sisa uang menipis, dia dijambret. Smartphone dari logo buah tergigit dan dompetnya raib, sedangkan dia sendiri mengalami luka-luka karena terseret motor si penjambret. Lalu Nanda dan adiknya yang berjualan asongan menolongnya dan mengobatinya. Membawanya ke rumah mereka. Rumah mereka adalah rumah semi permanent; bagian depan bertembok tapi bagian belakang memakai kayu tipis. Ibunya janda, yang walaupun hidup keras tapi hatinya halus. Justru ditempat Nanda yang tidak pernah terbayang olehnya, dia menemukan hatinya.

Sayangnya, almarhum Ayah Nanda meninggalkan hutang yang besar dan parahnya Ayahnya meminjam dari komplotan preman. Hampir setiap bulan keluarga Nanda harus menghadapi ancaman dan makian karena hanya bisa membayar bunga hutang, padahal untuk mendapatkan uang tersebut, Nanda dan adiknya harus putus sekolah dan berjualan. Sedangkan ibunya hanya buruh cuci setrika. Namun bulan ini Nanda memutuskan tidak menyetor uang hasil mereka. Ini yang menyebabkan mereka dikejar-kejar. Gia yang sebulanan tinggal di rumah Nanda, ikut terseret dalam kekacauan ini.

"Buk? Ibuk?" Gia manggil Bu Sapto, ibunya Nanda sesampai di depan rumah mereka.

"Gia?" Setelah memastikan bahwa benar itu Gia, Bu Sapto membuka pintu dan memeluk Gia "kamu nggak apa-apa?"

"Nggak apa-apa buk, Ibuk gimana?" Gia memandang Bu Sapto, memastikan tidak ada tanda penganiayaan.

"Nanda sama Satria mereka di Bogor," ujar Gia.

"Iya ibu tahu. Aduh Nanda ini nekat sekali. Sudah tahu nggak mungkin menang melawan mereka, malah nantang-nantang nggak mau bayar."

"Nanda marah sama bunganya buk, bunganya sangat banyak."

"Mau gimana lagi? Bapak pinjemnya ke preman, bukan koperasi." Sungut Ibu Sapto "mana ibu nggak tahu bapak pake jaminan apa ke mereka."

Satu kesamaan Gia dengan Nanda, memiliki Ayah yang kurang bertanggung jawab. Jika ayah Gia kurang bertanggung jawab terhadap perempuan, ayah Nanda pada harta. Habis di meja judi. Termasuk hutang mereka adalah karena judi dan menutupi hutang lain yang diakibatkan judi juga.

"Jangan-jangan rumah Buk?" tanya Gia khawatir.

"Nggak, yang pegang sertifikat rumah adalah kakaknya Ibu. Ini rumahnya. Orangnya di Semarang," jawab Bu Sapto.

Gia berpikir tapi dia putuskan untuk tidak meneruskan memusingkan hal tersebut.

"Gia makan dulu ya, lalu istirahat. Maaf ya jadi ikut masalah keluarga ibu," ujar Bu Sapto sambil merengkuh tangan Gia.

"Nggak apa-apa Buk, jika nggak ketemu Nanda sama Satria, mungkin saya udah mati kehabisan darah gara-gara luka."

"Tapi kamu jadi ikut nafkahin Ibu..."

"Buk, saya numpang di sini." Gia langsung memotong ucapan Bu Sapto. Dia memang memilih putus kuliah di universitas di luar negeri---jauh sebelum ia minggat. Jadi pekerjaan yang tersedia adalah sebagai pelayan restoran fast food di malam hari, 5 hari seminggu. Lebih karena ingin membuktikan kepada Ayahnya bahwa dia bukan anak manja penghambur harta dan bisa bertahan tanpa harta orang itu serta karena ingin membantu keluarga yang menolongnya, keluarga barunya. Gia memutuskan akan membantu keluarga ini semampu yang ia bisa.

Vices's TouchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang