ENAM

278 12 0
                                    

Gia mematut diri di cermin. Seperti biasa, dia memilih pakaian yang ia suka; kemeja. Kemeja tanpa lengan-cardigan loose fit dan celana jeans, lalu sepatu kets. Rambutnya ia kucir ekor kuda. Hanya saja dia sedikit dandan. Hanya eyeliner tipis dan lipstik nude.

Pras keluar dari kamar mandi. Telanjang dada. Pinggang sampai bagian bawah berbalut handuk. Aroma sabun semerbak memenuhi hidung Gia. Pras lalu memandang tempat tidur. Gia sudah menyiapkan baju untuknya di sana. Kemeja lengan panjang dan jeans.

"Gue mau ngajak lo jalan sama jenguk ibu kesayangan lo, Bu Sapto. Bukan ke kondangan." Pras tersenyum kecut memandang pilihan Gia. Pras memang menjanjikan Gia untuk bertemu keluarganya Nanda.Setelah permainan mereka di dapur, mereka bercumbu lebih lama di kamar. Lalu keluarlah permintaan Gia untuk bertemu keluarga Nanda saat pillow talk. Gia kira Pras akan ngamuk atau menolak. Tapi dia dengan entengnya menyanggupi.

"Sekalian ngajak lo jalan." Pras berujar pelan saat itu.

"Hah? Jalan ke mana?"

"Ada lah. Lo nurut aja."

Gia benar-benar penasaran. Tapi Pras memutuskan untuk tidur dan tidak menjawab.

"Hei, gue harus pakai ini nih?" tanya Pras, menyadarkan Gia dari lamunan tadi malam.

"Biar ganteng." Gia berdecak.

"Gue nggak inget kalau gue jelek." Balas Pras. Gia menahan tawa, agak meringis. Tapi Pras benar. Dia tidak jelek. Selama ini Gia memandang Pras sebagai sosok menakutkan, kasar dan kejam. Ya bagaimanapun itu adalah gambaran bagi seorang pemerkosa, mau setampan apapun aslinya. Tapi beberapa hari ini, Gia melihat Pras dengan pandangan sedikit lain. Tinggi dan berlekuk. Walau Pras tidak sekekar pria yang rutin ke gym, tapi perutnya berbentuk dan kokoh. Semua tubuhnya tampak kuat. Mungkin itu sebabnya Gia selalu kalah tenaga. Selalu kalah kalau melawan. Berkulit tembaga cerah, rambut semi gondrong berantakan. Janggut tipisnya menghiasi rahang dan pipi. Mungkin kalau dia sedikit memakai pakaian modis, Pras bisa dikira baru saja melakukan pemotretan.

"Lo suka lihatin gue sekarang, hmm?" ujar Pras sembari memakai celana. Gia belingsatan. Astaga, dari mana dia tahu Gia memperhatikannya.

"Kenapa kamu pede banget sih? Jangan delusi." Sanggah Gia.

"Wajah lo merah. Jangan bohong." Pras tersenyum miring. Lalu memakai kemeja yang Gia siapkan. Gia hanya menggeleng-geleng tidak percaya dengan level percaya diri Pras. Apakah karena dia seorang penguasa makanya dia pede seperti itu?

Pras menata rambut berantakannya ke belakang dengan beeswax. Lalu menggosok cologne sekenanya di leher dan telapak tangannya. Aroma segar tajam rempah memenuhi ruangan. Kali ini Gia benar-benar tidak bisa melepaskan pandangan dari Pras. Di mana hilangnya Pras ketua preman yang berantakan biasanya? Pras memandang Gia. Menangkap basah tatapan terpukau Gia. Tersenyum jahil. Lalu menghampirinya. Membungkuk ke arah Gia.

"Gue nggak delusi kalau ini kan? Lo liatin gue kayak liatin artis," goda Pras.

Gia gelagapan. "A-aku cuma kaget. Kemeja sama menata rambut asal-asalan bisa bikin perbedaan sangat mencolok."

Pras tergelak, lalu melayangkan ciuman ke bibir Gia. Gia menyambutnya secara reflek. Gia dapat membaui harum kuat rempah cologne pria milik Pras. Ada harum cengkeh, pala dan kayu manis. Lalu after notenya kayu-kayuan. Dengan hints kulit. Sangat Pras.

"Cukup jadi perempuan gue selama mungkin, lo bakal melihat banyak diri gue yang lo nggak tahu. Paham?" ujar Pras yang sebenarnya tidak butuh persetujuan Gia. Gia menelan ludah.

Gia tahu, dia tidak berjangka waktu tertentu di sini. Posisinya masih ambigu. Apakah Pras akan menyimpannya selamanya atau jika dia bosan, Gia akan dicampakkan. Pilihan apapun itu, bagi Gia, bukanlah pilihan yang menyenangkan. Terpenjara di lingkungan yang berbau kriminal, dimiliki oleh pria kejam, dan merasa tidak berguna bukan pilihan yang bagus. Walau sebenarnya tanpa Gia sadari, dia mulai 'menerima' keadaannya sekarang dan kepemilikan Pras terhadapnya. Lalu pilihan lainnya, dicampakkan dengan harga diri dan masa depan yang sudah hancur. Lebih parah, di'buang' di tempat di mana Gia tidak mau membayangkan, seperti yang ada di berita-berita. Preman, mafia, gembong kriminal lainnya pasti terlibat prostitusi. Secara tak kasat mata, sebenarnya Gia merasa tidak berharga sama sekali. Ketakutan sekaligus hilang harapan terhadap masa depan.

Vices's TouchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang