SEMBILAN

130 8 0
                                    

"Jadi kamu tahu kan kenapa kami kesini?" Komandan Restu menunjukan surat penggledahan. Tampak beberapa polisi berseragam resmi dan berseragam preman, dan dua orang saksi yang Pras tahu dari kelurahan wilayah markasnya "ini pengembangan kasus penemuan mayat anak buahmu." Lanjut Komandan Restu.

"Silahkan saja." Pras mempersilakan dengan gestur dingin dan formal. Pras mengenal orang itu. Bagaimana lagi, hubungan antara aparat-preman bisa dibilang...Aneh. Mereka tidak menyukai preman, jelas. Kelompok penegak hukum dan kelompok pelanggar hukum. Tapi keberadaan kelompok besar seperti milik Pras tidak bisa dihilangkan begitu saja. Lalu mereka membentuk perang dingin atau simbiosis aneh---tempat arus informasi kasus kriminal.

Walaupun kelompok Serigala Selatan dan kelompok lain juga 'dilindungi' oknum aparat pemerintah, Komandan Restu seperti bertekad memberantas mereka. Dalam hal wilayah kerja, jelas sasarannya adalah kelompok Pras. Anak buah Pras waspada ketika Pras digeledah oleh beberapa petugas. Beberapa Petugas yang lain menggeledah seluruh rumah. Zack sudah memberitahu yang ada di rumah. Untungnya hari ini hanya sedikit yang datang. Tapi juga kesialan, karena jumlah mereka jadi kalah dengan para polisi yang datang. Mereka tidak bisa melakukan perlawanan.

"Lapor, Komandan." Salah satu petugas datang sambil membawa sebuah bungkusan "ditemukan di toilet."

Sabu-sabu dan senjata rakitan. Pras terpengarah. Dia tidak pernah membuat markasnya sebagai sarang Narkoba. Ia menatap tajam anak buahnya. Namun semua juga menatap dengan sama ngerinya. Menatap Zack, wajahnya yang paling terkejut dan pucat. Sadar ia dipandangi Pras, ia membuat isyarat genggaman tangan, semacam isyarat bahwa semua senjata rakitan telah diamankan di bunker. Pras mengumpat dalam hati. Ia telah dijebak oleh seseorang.

"Sabu-sabu dan senjata rakitan. Saya bisa langsung melakukan penangkapan," ujar Komandan Restu, memberi perintah beberapa petugas untuk mengamankan Pras.

"Itu bukan punya gue," jawab Pras dingin.

"Itu bisa dibuktikan nanti di kantor polisi." Tegas Restu.

"Ah gue lupa kalau kalian nggak bakal percaya walau gue bilang gue dijebak."

Komandan Restu mengatupkan rahangnya "kita menerapkan asas praduga tidak bersalah, walau secara pribadi, saya yakin ini perbuatan kelompokmu." Komandan Restu dan Pras saling melempar pandangan tajam. Zack menelan ludah. Zack memandang Pras lalu kamar atas secara bergantian ketika ia digeledah. Pikirannya tertuju pada Gia. Sayangnya Komandan Restu melihat hal itu.

"Setelah itu kita geledah lantai atas." Perintah Komandan Restu.

"Hei." Pras berkata tajam "di sana nggak ada apa-apa."

"Tugas kami menggeledah semua." Balas Komandan Restu "kalau memang nggak ada apa-apa harusnya kamu nggak usah panik atau... Kamu nyembunyiin yang paling besar di sana?"

"Komandan, dikunci!" Tiba-tiba petugas berseru dari atas. Komandan Restu memandang dengan dingin kearah Pras. Seperti sudah paham bahwa Pras tidak akan menyerahkan kunci kamar kepadanya.

"Dobrak!" Perintahnya.

"Hei!" Tapi Pras segera diborgol dan dijatuhkan ke tanah. Ia meronta. Luka lebam di tubuhnya memberikan aliran rasa sakit. Pras memandang nyalang para petugas yang memasuki kamarnya. Apa yang akan terjadi pada Gia? Gia tidak terlibat apapun di sini. Jika mereka menemukan Gia, dia akan dibawa oleh mereka. Diambil dengan dalih 'dilindungi'.

Aneh, Pras tidak mau itu terjadi. Selain karena tuduhan terhadapnya akan bertambah, dia tidak ingin Gia pergi. Dia mengumpat dan meronta. Limabelas menit kemudian, mereka keluar dari kamar Pras. Membawa beberapa barang. Tidak ada Gia. Bola mata Pras melebar. Di mana gadis itu?

"Ada yang lain?" tanya Komandan Restu setelah melihat barang-barang yang disita dari kamar Pras; pisau lipat dan beberapa surat.

"Hanya ini Komandan. Sudah cek kamar mandi dan beranda. Tidak ada apa-apa." Raut muka Pras kaku. Pikirannya berkecamuk.

Vices's TouchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang