Halooo! Ini cuplikan novelet di Karyakarsa. Siapa tahu berkenan mampir. ❤️❤️
Part 1Mata setajam elang yang siap menerkam mangsa itu terus mengikuti gerak-gerik gadis ayu itu. Amora. Dia begitu ceria, matanya berbinar-binar, dengan pipi yang mencekung saat tertawa, membuat Amora seperti bunga yang baru mekar di musim semi, begitu memikat hati untuk segera dipetik.
Mahendra beranjak dari kursi saat Jinan duduk dekat Amora. Ia melangkah dengan tatapan lekat pada dua manusia tersebut. “Geser.” Mahendra menggeser Jinan ke pinggir lalu menempatkan diri di antara keduanya.
“Yaelah, Bang. Di sana banyak tempat lho,” protes Jinan. Padahal ia bermaksud PDKT pada Amora.
“Virus dilarang deket-deket,” sahut Mahendra. Ia menyusupkan tangan di belakang pinggang Amora. Meremasnya kuat sampai perempuan itu menatapnya terkejut—mepet lengan sofa dan tertutup bantalan sofa.
Mata Amora berkaca-kaca merasakan sakit karena cengkeraman Mahendra. “Sakit, Bang,” lirihnya.
Mahendra mendengar itu tapi mengabaikannya. Memang bukan salah Amora jika Jinan mendekat tapi ia tak peduli. “Gue bilang apa tadi? Lo bandel.”
“Bukan aku, Bang,” bantah Amora dengan lirih. Pasti cengkeraman Mahendra akan berbekas.
“Nggak peduli. Kalau lo nggak kecentilan, Jinan nggak bakal deketin lo. Mau jadi lonte lo?”
Mendengar ucapan Mahendra membuat Amora ingin menangis. Apa serendah itu dirinya di mata kakaknya padahal ia rusak juga karena kelakuan Mahendra. Bahkan ia harus mengkonsumsi pil kb agar tidak hamil. Pria itu terus menyentuhnya kapan pun ia mau, lebih parahnya jika orang tua atau kakaknya tidak di rumah, tamat sudah riwayat Amora. Ia akan menjadi pelacur Mahendra hingga pingsan. Ya Tuhan. Amora ingin mengakhiri tapi tak tahu bagaimana cara?
“Nggak usah nangis,” desis Mahendra. “Mau gue hukum lo?” Sorot matanya menajam seakan menguliti Amora.
“Bisik-bisik apa coba?” celetuk Jinan. “Sanaan, Bang. Sempit ini kursinya. Nih gue aja sampai mo jatuh.”
Bukannya minggir, Mahendra malah bergeser ke Jinan sampai pria itu benar-benar jatuh di lantai lalu ia merapat kembali ke Amora, untungnya ada karpet tebal, jadi bokong Jinan tidak terlalu sakit.
Jinan berdiri sambil menepuk ringan bokongnya. “Gila lo, Bang.” Ia akhirnya pindah duduk di samping Sinta. “Mor, gue ada tiket konser di Balai Sarbini. Temenin yuk.”
Amora melirik ke arah Mahendra. Pria itu dengan satu tangan men-scroll sosial media seolah tak peduli dan terusik dengan ajakan Jinan tapi remasan di pinggangnya memberinya peringatan—raut wajahnya ia usahakan biasa saja. “Kapan, Bang?” Amora memejamkan mata, mendesis tanpa suara saat cengkeraman Mahendra semakin kuat.
“Sabtu depan. Jadi nggak ganggu kuliah lo, kan?” papar Jinan. “Jam empat gue jemput. Tahu sendiri kalau weekend gimana, macetos.”
“Kok gue nggak lo ajakin, Nan?” celetuk Sofia yang baru datang. Ia membawa nampan dengan beberapa gelas minuman di atasnya. Ia duduk setelah meletakkan di meja dan mengambil jus jeruk untuk dirinya sendiri. “Nggak adil banget. Ngajak orang pilih-pilih. Bilang aja kalau lagi PDKT sama Mora pake alasen temenin. Huh!”
“Itu tahu. Jadi tolong ya wahai hambaku, jangan mengganggu usaha rajamu ini,” kelakar Jinan. Percuma mengelak sebab itu benar adanya, dan dengan begitu ia berharap Amora melihat dirinya.
Para sepupu Jinan tertawa tapi tidak Mahendra. Parasnya tanpa ekspresi, tatapannya menajam tapi tak disadari oleh saudara-saudaranya.
Wanita di sisi Mahendra itu harus menjawab apa? Jika mengiakan ajakan Jinan pasti kakaknya marah dan menghukumnya. “Aku tanya Bunda dulu ya, Bang.” Amora pikir itu adalah jawaban paling aman, dengan begitu Jinan tidak akan memaksanya.
“Nanti aku bantuin minta izin ke Tante. Masa iya dilarang, keluar juga sama gue.”
Memang tidak akan dilarang oleh bundanya tapi tidak dengan pria di samping Amora ini. Mahendra akan melarangnya. Kalau sudah begitu, Bunda tidak bisa membujuk pria itu. Tapi jujur saja, ia juga ingin bebas ke mana-mana tanpa takut Mahendra marah. Bebas pergi atau berteman dengan siapa pun.
“Ketemu di lokasi aja, Nan.” Tama mendudukkan Elsa di samping Resti. “Tunggu di sini. Aku ambilin makanan. Awas kalau sampai ke mana-mana,” ancam Tama. “Nanti biar Mora gue yang jemput. Elsa pengin lihat juga konser itu.” Pria itu melirik Mahendra dengan seringai kecil seperti berkata ‘mau apa lo?’ Mahendra akan berpikir seribu kali kalau melawannya. Kadang Tama kasihan pada Amora diperlakukan seperti pelacur tapi ia belum berani ambil tindakan kalau Amora tidak minta ditolong.
“Yaelah segitunya, Bang. Pan gue jadi iri. Pengin deh diposesipin,” goda Resti si jomlo abadi. “Kapan ya Allah gue dapet jodoh. Capek apa-apa sendiri. Pengin ada yang ngurusin. Minimal kek Bang Tama ya Allah.”
Tama menggeleng. Sepupunya satu itu kadang-kadang memang agak sarap. “Nggak ada lagi yang kayak gue. Limited edition, khusus Elsa.” Tama kemudian melihat Amora yang anteng di sisi Mahendra. “Mor, siap-siap jam empat. Nggak usah takut sama bajingan itu. Gue yang tanggung jawab.”
###
Amora menggigit kuat bibirnya untuk menahan erangan agar tak terdengar orang lain saat Mahendra tengah memenuhi dirinya di kamarnya. Entah apa yang terjadi tapi pria itu begitu kasar padanya. Mahendra tampak sedang meluapkan kemarahan padanya. Pria itu mencengkerami hampir seluruh tubuh Amora dan pasti akan meninggalkan memar esoknya.
“Sudah, Bang,” mohon Amora. Ia tak sanggup. Tubuhnya seakan hancur karena desakan Mahendra yang tanpa jeda.
Namun, permintaan Amora tak Mahendra pedulikan. Ia begitu marah pada wanita ini karena pergi tanpa pamit padanya—ia tidak sengaja melihat Amora di sebuah mal dengan teman kampusnya. Amarah yang berkobar begitu besar dalam dirinya sudah tak mampu ia bendung. Beruntung pekerjaannya selesai lebih awal, dan di sinilah dirinya, melampiaskan kemarahannya dengan terus memenuhi Amora.
“Lo udah bikin gue marah,” geramnya. Ia menggigit cekungan leher Amora hingga meninggalkan bekas. Wanita itu mulai terisak tapi Mahendra tak peduli. “Lo udah ngelanggar aturan gue.” Ia bergerak cepat hingga pelepasan yang ia ingin tercapai. Mahendra ambruk menimpa punggung Amora.
Wanita itu meredam tangisnya. Mahendra tidak suka mendengarnya menangis, bisa-bisa ia dipukul. “Aku ... aku salah apa?” tanyanya di antara tangisnya.
Selalu begini, apa pun yang ia lakukan tidak pernah benar, ada saja kesalahannya. Amora memang menyukai bahkan mencintai pria itu tapi ia benci saat Mahendra berbuat kasar padanya. Rasanya ingin mati saja tapi mengingat bundanya yang begitu menyayanginya, rasanya tak tega. Ia hanya mampu bertahan dan berharap Tuhan segera memberi hidayah pada Mahendra untuk berhenti berbuat kasar padanya.
Mahendra menampar bokong Amora dengan keras dan berulang, membuatnya berbekas. Ia kesal setengah mati. “Pamit nggak lo tadi? Ngapain ke mal nggak bilang-bilang? Cari gadun lo? Jual diri?” Ia kembali menampar pantat Amora lalu berguling ke samping. Ia mencengkeram dagu adik angkatnya itu, menatapnya dengan kilatan penuh amarah. “Sampai kapan pun lo nggak bakal bisa lepas dari gue kecuali gue atau lo yang mati duluan.” Ia kemudian mengempaskan cekalannya membuat Amora sedikit terpelanting ke samping.
Pria itu turun dari kasur, mengambil sesuatu dari sakunya. Melemparkan benda tersebut ke hadapan Amora. “Jangan lupa minum obatnya. Gue nggak mau lo hamil.” Ia pun berlalu untuk membersihkan diri. Meskipun masih ingin menyentuh Amora tapi ia ingat kalau ada ajakan dari teman-temannya.
Amora merintih dalam tangisnya. Mahendra benar-benar sudah menghancurkan dirinya. Ia tak ubahnya tong sampah bagi pria itu. “Sebenarnya salahku apa sampai Bang Hendra jahat sama aku?” tanyanya sebelum Mahendra keluar.
Mahendra berhenti di depan pintu. Sedikit menoleh ke belakang. Ia berkata tanpa ekspresi. “Salahmu datang ke rumah ini.”
Bukankah Amora tidak bisa memilih saat itu? Tapi mengapa harus dirinya yang disalahkan? “Tapi ....”
“Apa pun alasannya gue nggak peduli. Lo pantes dapet hukuman karena masuk ke keluarga ini.”
Tbc.
Lengkap di Karyakarsa ya. Dengan 13 part (±15.700 kata). Link ada di bio.