"Silahkan, lalukan apapun yang kamu inginkan terhadap dia. Mulai sekarang dia bukan lagi seorang Al-atas. Saya tidak memiliki anak perempuan lagi di dunia ini. Rumah saya tertutup untuknya selamanya, jangan sangkut pautkan apapun dia dengan saya, bahkan untuk sebuah nama di batu nisan sekalipun."
Aku bergelung erat, memeluk diriku sendiri merasakan kalimat Baba menusukku dengan cara yang sangat menyakitkan melebihi belati. Rasa sakit itu menyayat, tanpa peduli pada diriku maupun tangis Ummi yang memohon agar Baba mencabut kembali ucapannya, beliau pergi. Derap langkah beliau yang tergesa saat keluar menunjukkan betapa jijiknya beliau berada satu ruangan lebih lama denganku yang berlumur dosa ini.
Dosa yang bahkan tidak aku inginkan dan tidak aku perbuat. Sunyi seketika melingkupi ruangan ini kembali, denyut nyeri dan rasa sakit di sekujur tubuhku semakin terasa, kepalaku terasa begitu pusing karena pukulan Baba bahkan aku merasakan pandanganku berkunang-kurang, ingin sekali aku memejamkan mata namun saat itu juga aku mendengar sebuah tamparan keras terdengar di belakang tubuhku.
"Plaaaakkkk, gila ya kalian berdua. Bisa ya kalian berdua khianati gue kayak gini."
Aku memejamkan mataku erat-erat, pada akhirnya kemarahan Dilla juga akan aku dapatkan, benar bukan aku yang ditampar olehnya namun rasa sakit yang diterima oleh Kak Andika terasa sampai ulu hatiku yang sudah remuk tidak beraturan.
"Kamu boleh marah sepuasnya ke aku, Dill. Tapi mau bagaimana lagi, semuanya sudah terlanjur terjadi, aku benar-benar nggak sadar, ini semua diluar kendaliku. Tolong dengerin penjelasanku."
Mendengar apa yang dikatakan Kak Andika pada Dilla sontak saja aku terperangah, aku merasa kalimatnya begitu ambigu dan menyalahkan semua masalah kepadaku, kedua tanganku terkepal menahan amarah atas kalimatnya yang sangat salah. Dan benar saja saat aku bersusah payah berbalik ke arah Dilla, sorot mata penuh kemarahan dan kebencian itu terarah padaku. Sungguh kemarahan Dilla adalah pelengkap kehancuran dalam hidupku, saat ini air mataku bahkan tidak bisa keluar lagi saking kecewanya aku dengan jalan takdir yang sangat menyakitkan ini.
Perlahan Dilla mendekatiku, jika sebelumnya Kak Andika memasang dirinya sebagai tameng dari orangtuaku, kini aku melihatnya memunggungiku, membiarkan diriku menjadi seorang penjahat atas ulah bejatnya. Hela nafas Kak Andika yang berat seakan apa yang terjadi ini adalah hal yang tidak dia inginkan benar-benar membuatku membencinya. Bagaimana bisa dia menimpakan semua kesalahan ini kepadaku?
"Bisa ya Reen lo lakuin ini ke gue? Kurang apa gue sama lo selama ini? Pernah salah apa gue ke lo sampai lo tega khianatin gue kayak gini? Lo itu saksi hidup gimana susahnya gue buat bangkit dari sakitnya pengkhianatan, lo kan yang selama ini ngomporin gue buat nerima si Dika ini? Lo yang maksa-maksa gue buat lihat sisi positif Dika sementara lo tahu gue paling benci sama cowok berseragam! Mati-matian gue Reen buat lawan trauma gue dan pada akhirnya lo sendiri yang hancurin!"
Histeris Dilla memakiku, menunjukku dengan luapan emosinya. Sama sepertiku yang menangis, Dilla pun sama, dia benar-benar sedih dan terluka atas rumitnya keadaan yang menjerat kami bertiga. Aku ingin mengelak, menampik semua prasangka buruk yang tersemat padaku namun tidak ada yang keluar dariku kecuali tangisan. Bahkan untuk membela diriku sendiri pun aku tidak mampu. Aku hanya bisa menelan semua caci maki itu bulat-bulat sembari menggigit bibirku kuat-kuat jika tidak mau tangisku pecah.
"Dan lihat sekarang, lo bersikap sok pahlawan didepan gue sementara dibelakang lo nusuk gue kayak gini! Hebat banget ya Reen lo ini, gue berasa jadi manusia paling bego yang pernah ada. Nggak bisa gue bayangin gimana lo ngetawain ketololan gue selama ini dihadapan lo. Selamat ya, udah ngerasa hebat kan lo ini berhasil godain pacar sepupu lo sendiri. Suhu emang lo! Manusia paling munafik."
"Dilla, dengerin gue, disini gue juga korban Dill, gue......." Tidak tahan dengan semua tuduhan menyakitkan yang dilontarkan oleh Dilla aku berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Percayalah, aku bukan wanita bodoh apalagi wanita penggoda yang mengambil laki-laki milik sepupuku. Ya, aku memang sempat menaruh hati pada Kak Andika tapi rasa itu aku sudah buang jauh-jauh saat tahu jika Kak Andika menyukai Dilla. Aku akan berbahagia jika Dilla bahagia, sayangnya Dilla sama sekali tidak berminat untuk mendengar penjelasanku, sama seperti Baba yang menepis sentuhanku, Dilla pun memandangku begitu jijik seakan aku adalah kotoran yang akan mencemarinya.
"Nggak usah ngaku-ngaku korban, Reen. Janin yang ada di perut lo bukti kalau lo mau-mauan di tiduri sama pacar gue! Kalau lo benar korban seharusnya lo ngomong dari awal. Bukan diem-diem sampai ketahuan bunting kayak gini. Sudahlah, tutup mulut lo, gue nggak mau dengar apapun. Maling kalau ngaku bakal penuh tuh penjara, nggak ada satu kata pun yang bakal gue percaya dari lo lagi. Lo udah kehilangan gue sebagai saudara maupun sahabat."
Dilla menyusut air matanya sebelum dia berbalik bersiap meninggalkanku yang sudah benar-benar hancur tidak bersisa lagi. Pada akhirnya aku kehilangan segalanya, semua orang menyalahkanku seakan aku adalah tersangka. Tidak ada yang mau untuk sekedar mendengarkan bahwa aku pun korban.
Tidak, aku bukan pelakor. Aku tidak merebut apapun dan siapapun. Disini aku juga korban namun aku justru terbuang. Harus bagaimana lagi aku ini Ya Allah? Harus kepada siapa lagi aku mengadu atas kesakitan ini? Sungguh aku benar-benar tidak sanggup hidup diatas cacian yang tidak berkesudahan ini.
"Dilla......" dan semakin menyempurnakan kesakitanku, tokoh utama penjahat dalam hidupku pun berlalu dari hadapanku mengejar pujaan hatinya meninggalkan diriku sendirian yang ternoda atas ulah brengseknya. Kali ini aku tidak lagi menangis melainkan justru tertawa terbahak-bahak merasakan betapa tidak adilnya dunia terhadap korban pemerkosaan. Sekarnag aku paham kenapa banyak korban pelecehan seksual memilih diam karena berbicara pun kami tetap akan disalahkan dan dipandang hina.
Sikap sok pahlawan yang ditunjukkan Kak Andika saat Baba hendak membunuhku sama sekali tidak berguna karena pada akhirnya dialah yang membunuhku perlahan-lahan atas sikapnya. Bahkan sekarnag ini untuk sekedar memanggil dokter atau perawat untuk luka di sekujur tubuhku pun tidak dia lakukan.
Hidupku sudah benar-benar berakhir. Aku kehilangan segalanya dan aku tidak lagi mampu hidup dengan segala noda yang melekat di tubuh dan harga diriku. Perlahan, aku turun dari ranjangku, mengesampingkan rasa pusing dikepala dan nyeri di sekujur tubuhku aku turun dari atas ranjang, tertatih-tatih aku menuju toilet yang ada di ruangan VIP tempatku di rawat sekarnag ini. Perlu seluruh tenagaku untuk akhirnya aku sampai disana.
Kukunci pintu toilet itu dari dalam, memastikan tidak akan ada lagi yang mengusik dan melukaiku. Di dalam toilet ini aku menatap bayanganku di kaca wastafel, semuanya lebam nyaris tidak berbentuk dengan darah mengalir dari bibir dan hidungku, aku benar-benar menyedihkan. Tidak ada yang bisa aku ajak berbicara hingga akhirnya aku memilih berbicara dengan bayanganku sendiri. Sama sepertiku yang meneteskan air mata ditengah tawa, dia pun sama.
"Kita akhiri saja, ya. Aku nggak bisa besarin dia sendirian."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersamamu, Aku Terluka
RomanceCover :by Pinterest Edit : by Canva Shireen Al-attas, putri ketiga dari pengusaha parfum yang ternama tersebut kini terusir dari keluarganya. Hal yang sama sekali tidak pernah dia sangka akan terjadi di dalam hidupnya. Berawal dari Shireen yang di...