Part 30

2.5K 345 27
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

HollllaaaaaaaShireen dan Andika bisa kalian ikuti juga di aplikasi KBM dan KaryaKarsa yaHappy reading semuanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hollllaaaaaaa
Shireen dan Andika bisa kalian ikuti juga di aplikasi KBM dan KaryaKarsa ya
Happy reading semuanya

"Loh Mbak, kok Mbak keluar dari rumah Mas Andika."

Baru saja aku keluar dari dalam rumah untuk pergi ke tempat jualan lontong sayur padang yang ada di luar komplek perumahan tempat tinggal Kak Andika, sebuah sapaan aku dapatkan dari Ibu-ibu yang mensejajari langkah kakiku yang tergesa.

Semalam saat Kak Andika selesai memasak kami memang berbicara sedikit, lebih tepatnya aku bertanya apa yang sering dia makan selama dia tinggal disini sendirian. Jangan salah sangka, bukan maksudku untuk caper dengan kakak Maisa itu tapi otak pintarku yang berpikir rasional berpikir jika hal paling baik untuk menghandel morning sickness yang menyiksa dan kepicky-anku memilih makanan agar tidak malnutrisi adalah makan makanan sesuai selera pria jangkung tersebut.

Entahlah, aku benar-benar benci mengakuinya tapi perubahan yang terjadi pada tubuhku sebab ada nyawa lain yang tengah berjuang tumbuh di dalam sana, benar-benar membalikkan kalimat omong kosong Kak Andika yang meragukan jika itu adalah benihnya. Jika mengingat kalimat Kak Andika yang sangat menyakitkan tersebut ingin rasanya aku marah, bagiku itu adalah penghinaan terbesar dan mungkin tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku.

Aku menoleh ke arah Ibu-ibu seusia Ummi tersebut, layaknya orang Indonesia pada umumnya yang kelewat ramah sampai kepo, begitu pula dengan Ibu ini, senyuman ramah tersungging dibibirku yang bagi beliau dianggap sebagai lampu hijau untuk meneruskan keingintahuan beliau.

"Mbak ini siapanya? Adiknya? Sepupunya? Atau malah pembantunya? Tapi kalau pembantu kok cantik bener, kayak juragan parfum tempat saya langganan buat refill."

Aku mengulum tawa, bingung bagaimana menanggapi apa yang Ibu ini katakan, Ibu ini tidak tahu saja jika benar Baba juga pengusaha parfum, apalagi disuguhkan dengan pilihan jawaban yang sudah beliau sediakan atas tanya yang beliau berikan sebelumnya. Mau jawab istri tapi nyatanya belum menikah secara legal, tapi kalau nggak dijawab gitu dikira kumpul kebo, dan rupanya tidak menjawab secara cepat atas tanya yang diberikan oleh ibu-ibu yang maunya satset satset itu sebuah kesalahan besar karena beliau kini mulai menyimpulkan sendiri.

"Jangan bilang kalau Mbaknya ini baru pacarnya Mas Andika, hissss nggak boleh Mbak baru pacar udah pakai nginep-nginep segala, nggak baik Mbak. Dosa, takut khilaf, tapi anak jaman sekarang mah kalau dikasih tahu kayak begini sukanya ngeyel sih, tekdung duluan baru tahu rasa kamu ini, Mbak. Hancur hidupmu."

Mendengar ucapan yang dikatakan sembari menunjukku lengkap dengan tatapan tajamnya tersebut membuat lidahku terasa kelu, aku seperti tertampar dengan kenyataan jika benar hidupku hancur. Tapi bukan karena mauku seperti yang disimpulkan oleh Ibu ini, aku ingin berkata tidak, tapi hatiku yang tengah begitu sensitif dengan hal-hal sepele ini terasa nyeri hingga aku tidak bisa berkata apapun.

Tentu saja sikapku yang aneh ini membuat Ibu-ibu semakin memandangku dengan curiga seakan mendapatkan jawaban dari kediamanku ini, dipandangnya aku dari atas ke bawah berulang kali, sampai akhirnya tatapan beliau berhenti di wajahku, atau lebih tepatnya di kerudung instan yang aku kenakan.

"Nggak perlu jawab, Mbak. Kayaknya saya sudah tahu jawabannya."

Jleb, kata-kata Ibu itu bagai sebuah sembilu, apalagi saat pandangan tajam menghina itu aku dapatkan, dan percayalah, aku benci diriku yang lemah sekarang ini karena tidak bisa membela diriku sendiri. Shireen yang selama ini begitu kuat dan tidak seorang pun bisa menindasnya berubah menjadi wanita lemah yang menjadi bulan-bulanan keadaan.

"Jawaban apa yang ibu maksud, Bu Masykur?" Suara itu terdengar dari belakangku, menyelamatkanku dari cecaran yang tidak bisa aku jawab di saat yang tepat. Sosok jangkung tersebut mendekatiku, berdiri di sisiku dan seakan tahu jika kini aku tengah gemetaran karena tidak bisa menghadapi cecaran, Kak Andika menggenggam tanganku dengan erat. "Ibu nanya apa ke istri saya, sepertinya bukan hal yang bagus melihat istri saya sampai kayak gini."

Ibu yang bernama Bu Masykur tersebut memandang Kak Andika dengan pandangan segan, tapi tetap saja pandangan tidak suka yang terarah padaku itu bertahan di wajahnya. "Ooohhh Istrinya toh. Mbok ya tinggal jawab istrinya gitu loh, Mbak cantik. Jangan diem-diem saja sambil pasang muka mau mewek, setiap orang juga bakal pasang muka kayak saya barusan kalau lihat reaksi Mbak." Jawaban ketus dari Bu Masykur ini membuatku semakin memgeratkan tanganku yang di genggam oleh Kak Andika, apa yang diucapkan oleh beliau memang fakta tapi fakta ini membuat diriku merasa semakin kotor.

Astaghfirullah, kenapa hatiku begitu sensitif seperti ini? Aku yang sebelumnya sangat benci dengan air mata kini justru ingin menangis karena hal yang sebenarnya bukan satu masalah. Aku benci dengan diriku yang cengeng ini.  "Saya nggak nanya yang gimana-gimana kok, Mas Andika. Tanya langsung deh sama Mbaknya. Cuma nanya Mbak ini siapa kok keluar dari rumah Mas, kan setahu saya Mas Andika ini lajang. Kalaupun sudah nikah ya syukur deh, tapi sayang banget ya kita yang sudah lama tetanggaan tapi nggak diundang ke pernikahan kalian. Jadinya kan nggak tahu dan bikin salah paham."

"Saya belum meresmikan pernikahan kami, Bu." Jawab Kak Andika dengan sigap menyikapi kalimat sarkas Bu Masykur. "Ibu tahu sendiri kan kalau seorang prajurit itu izin menikahnya lama, jadi saya memutuskan untuk menikah secara siri terlebih dahulu yang hanya dihadiri keluarga. Nanti untuk peresmiannya Ibu dan warga sini akan saya undang, kok. Maafkan saya ya, Bu."

Bu Masykur melirikku lagi usai mendengar apa yang dikatakan oleh Kak Andika, membuatku yang bisa mengerjap menahan air mata yang bersiap akan jatuh, "oooh nikah siri. Nikahnya bukan karena udah di DP duluan kan, makanya buru-buru?!" Kembali kelakaran yang dikeluarkan oleh Bu Masykur menamparku. Ya, kini aku benar-benar merasakan sakitnya ditampar dengan kenyataan memalukan. Ingin marah tapi apa yang terucap dari beliau adalah fakta. "Mukanya jangan kayak gitu Mbak Andika, saya cuma bercanda. Nggak usah terlalu baperan, orang-orang nanti ngiranya saya nyakitin situ, padahal mah cuma nanya biasa-biasa saja. Ya sudah kalau begitu saya permisi dulu. Nggak enak saya, niat hati mau ramah tamah sama penghuni baru malah jadi kayak penjahat."

"Hiks......" tangisku benar-benar pecah tanpa suara saat Bu Masykur berlaku meninggalkan kami tanpa menoleh lagi. Niat hatiku hanya sekedar keluar mencari sarapan yang tidak membuatku mual, tapi yang aku dapatkan adalah kenyataan yang menamparku dengan sangat menyakitkan. Ya, tidak ada yang salah dengan apa yang dikatakan oleh Bu Masykur. Disini yang salah adalah aku dan aib yang aku bawa ini. Aku ingin marah tapi aku tidak tahu harus marah kepada siapa. Hanya hal sesepele ini tapi benar-benar membuatku merasa buruk, kotor dan hina. Aku ingin bersikap kuat dihadapan orang yang sudah menghancurkan hidupku tapi ternyata aku kalah dengan perasaanku yang sudah remuk.

"Maaf, Shireen. Maaf." Kembali kata maaf terucap dari pria yang sudah menghancurkan hidupku yang kini meraihku ke dalam pelukannya, aku ingin memberontak, tidak sudi rasanya disentuh olehnya tapi aku begitu lelah dengan semua hal yang sudah terjadi dan aku lelah dengan diriku yang tidak bisa melindungi diri sendiri. Aku benci diriku yang lemah dan hancur seperti ini. "Aku janji aku akan melindungi. Aku akan menebus semua kesalahanku yang sudah merenggut kehormatanmu. Tidak akan ada yang akan menyakitimu lagi. Percayalah Reen, aku benar-benar akan melepaskan masalalumu dan menjadi pelindungmu."

.................................. ..................................

"Janjimu hanya sebuah omong kosong tanpa arti, Kak. Detik berikutnya saat Dilla menghubungimu lagi kamu akan berubah pikiran."

"Tidak, kali ini aku bersungguh-sungguh. Bersamaku, aku tidak akan membuatmu kembali terluka."

Bersamamu, Aku TerlukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang