Part 12

2.3K 274 31
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yuk yang punya aplikasi Kbm dan KaryaKarsa, bisa ikuti Andika dan Shireen disana ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Yuk yang punya aplikasi Kbm dan KaryaKarsa, bisa ikuti Andika dan Shireen disana ya.
Happy reading semuanya

"Tolong jangan pukuli Shireen lagi, Om. Pukul saja saya sepuasnya untuk melampiaskan kemarahan Om."

"........"

"Saya, saya yang akan bertanggungjawab atas semuanya."

Aku menggeleng pelan, mataku terpejam erat mengusir bayang-bayang menjijikkan yang terjadi beberapa bulan lalu dan bercokol tanpa mau menghilang, kalimat pertolongan bak pahlawan kesiangan yang diucapkan oleh Andika bukan sesuatu yang aku inginkan. Kesadaran yang nyaris hilang tersebut kini kembali sepenuhnya karena kebodohan Andika yang berlagak mengakui semuanya.

Tidakkah dia tahu jika apa yang dia katakan hanya akan membuatku lebih buruk daripada mati sekalian di tangan Ayahku. Jika sebelumnya Baba begitu berapi-api dalam menghajarku hingga nyaris mati, kini beliau dibuat tidak bisa berkata-kata dengan pengakuan Andika barusan, bukan hanya Baba, Dilla pun terdiam, kakak sepupu yang selalu ada untukku ini juga menatapku tidak percaya. Sungguh aku tidak tahan dengan kebencian yang tersirat di wajahnya bercampur dengan keterkejutan, lebih dari apapun, mendapatkan kebencian dari Dilla adalah hal terakhir yang aku inginkan. Lagi pula aku sama sekali tidak butuh pertolongan dari seorang pria jahat seperti Andika. Tidak, aku tidak butuh sama sekali. Ingatan akan apa yang terjadi beberap bulan yang lalu kembali berkecamuk di dalam benakku dengan sangat menyakitkan. Kata maaf yang seharusnya dia ucapkan saja tidak pernah terucap lantas tiba-tiba dia mengakui semuanya bak pahlawan kesiangan? Apa sebenarnya yang dia inginkan.

Seandainya saja aku masih memiliki tenaga ingin rasanya aku mendorong tubuhnya yang mendekapku sekarang ini karena melindungiku dari amukan Baba. Jijik, itulah yang aku rasakan saat pemerkos4 ini menyentuhku.

"B4ngs4t, kau ya! Siapa kau ini hah berani-beraninya menghancurkan hidup anakku!"

Jika tadi pukulan Baba terarah padaku, maka kali ini pukulan itu beralih pada Kak Andika, entah apa yang ada di dalam otak laki-laki yang kegilaan pada Kakak sepupuku ini karena dia benar-benar menerima semua pukulan Baba tanpa perlawanan apapun. Tubuh tinggi besar itu memelukku, melindungiku dari pukulan Baba dan suara-suara hantaman Baba yang kesetanan disertai umpatan benar-benar memekakkan telinga. Dadaku bergemuruh, seiring dengan tangisku meratapi buruknya nasib yang menimpaku ini. Selama ini Babalah yang memelukku dan melindungiku dari kejamnya dunia namun sekarang perasaan marah dan murka Baba bahkan membuat Baba bertekad melenyapkanku dari dunia ini.

Salahku yang memendam semuanya sendirian, seharusnya aku berkata apa yang terjadi sebenarnya bukannya sok kuat menerima pelecehan itu sendirian, dan sekarang pembelaan yang dilakukan oleh Kak Andika benar-benar membuatku menjadi orang paling jahat dan tidak tahu diri di dunia ini.

"Baba, sudah Ba. Sudah!!! Bisa mati anak kita kalau Baba kayak gini. Ummi nggak mau Baba dipenjara karena gebukin anak orang kayak orang gila. Ummi mohon Ba, jangan kayak gini."

Ya, satu-satunya orang di dunia ini yang mau didengar Baba hanyalah Ummi, dan mungkin jika Baba terus seperti ini akan ada dua mayat di ruangan ini, bukan hanya aku tapi juga Kak Andika. Benar pria berengsek ini tidak mengeluh sedikit pun namun nyawaku saja hampir melayang di tangan Baba, tentu saja pria brengsek ini juga merasakan hal yang sama.

"Biarkan saja, biar mati sekalian dua pezina tidak tahu malu ini!"

Aku bisa melihat dia menatapku sekilas, seakan ingin memastikan apa aku baik-baik saja, sayangnya aku tidak ingin menatapnya, aku pun tidak ingin berterimakasih padanya atas apa yang telah dia lakukan. Dengan cepat aku membuang pandanganku, kemanapun asalkan tidak menatapnya. Dan rupanya Kak Andika pun tahu kebencian yang aku rasakan padanya, tanpa peduli dengan Baba yang masih memakinya, dia menggendongku, membawaku kembali ke atas ranjang, diraihnya tanganku sebentar yang ternyata juga bercucuran darah karena infusku terlepas disertai hela nafas berat seakan dia merasa bersalah atas keadaanku yang menyedihkan.

"Apa sakit?" Pertanyaan konyol macam apa ini? Apa matanya buta sampai tidak melihat bagaimana hancurnya tubuhku sekarnag. Seluruh tubuhku rasanya remuk, setiap sendinya seakan terlepas hingga aku tidak tahu ada dimana semua bagian tubuhku yang terluka. Tidak ingin menjawab pertanyaan darinya aku memilih membuang muka, namun itu juga hal yang salah karena tatapan benci dari Dilla yang menuntut penjelasanlah yang kini aku lihat. Aku menelan ludah kelat, tidak sanggup rasanya aku mendapatkan tatapan benci dari mereka semua yang ada di sekelilingku.

"Saya minta maaf." Kembali kalimat itulah yang terucap dari Kak Andika saat dia berbalik ke arah Baba yang berusaha ditenangkan oleh Ummi. Hal yang sia-sia saja karena kemarahan Baba tidak akan hilang hanya dengan kata maaf.

"Maaf kamu bilang?! Tidak, saya tidak akan pernah memaafkan kalian berdua. Kamu sudah membuat aib di keluarga saya! Kalian mencoreng nama baik keluarga yang saya jaga dengan susah payah dengan perbuatan hina kalian."

Aku tidak tahu bagaimana reaksi Kak Andika, namun hela nafasnya yang berat sudah menunjukkan jika mengakui hal ini langsung di hadapan orangtuaku secara langsung adalah hal yang berat untuknya.

"Saya akan bertanggungjawab, Om. Saya tahu apapun yang akan saya katakan tidak akan membenarkan apapun perbuatan saya, saya yang bersalah, bukan salah Shireen. Timpakan semua kesalahan ini kepada saya, Om. Saya akan bertanggungjawab."

Semakin aku mendengar pembelaan dari Kak Andika, semakin aku tidak mau melihatnya. Ya, dia bersalah, bukan hanya menghancurkan nama baik keluarga kami, tapi dia juga menghancurkanku dan masa depanku, merenggut yang berharga dariku sebagai wanita. Kembali untuk kesekian kalinya aku menyusut airmataku. Sedih sekali rasanya, begitu sesak hingga rasanya sulit untuk sekedar bernafas, sakitnya hatiku melebihi sakitnya ragaku sekarang. Seharusnya dia tidak perlu menolongku biar mati sekalian karena hidupku sudah benar-benar hancur.

"Terserah. Silahkan kamu bertanggung jawab atas apapun kesalahan yang sudah kamu lakukan. Saya tidak peduli siapa kamu, dan bagaimana caranya kamu bertanggung jawab terhadap dia. Saya tidak peduli, saya terlanjur kecewa dan sakit hati atas perbuatan kalian yang hina. Saya memberikan kepercayaan, kebahagiaan, apapun yang dia butuhkan nyatanya hanya kekecewaan yang dia berikan. Ciiihhhh menyebut namanya saja  sudah tidak sudi rasanya."

Tes. Sekuat tenaga aku menahan tangis atas kalimat yang Baba ucapkan tetap saja air mata ini mengalir tanpa bisa aku bendung. Inilah yang aku takutkan dari semuanya, aku sudah tahu hal ini akan terjadi jika sampai mengecewakan Baba tapi tetap saja hati ini rasanya teriris-iris. Ya Allah, dosa apa Hamba ini hingga Engkau memberi Hamba ujian yang bahkan tidak bisa Hamba lalui, rasanya terlalu menyakitkan menanggung kesalahan atas hal yang tidak aku perbuat.

"Silahkan, lalukan apapun yang kamu inginkan terhadap dia. Mulai sekarang dia bukan lagi seorang Al-atas. Saya tidak memiliki anak perempuan lagi di dunia ini. Rumah saya tertutup untuknya selamanya, jangan sangkut pautkan apapun dia dengan saya, bahkan untuk sebuah nama di batu nisan sekalipun."

Bersamamu, Aku TerlukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang