Part 14

2.1K 270 49
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Siapa yang kesel sama Dika?Yuk acungkan tangan ☺️☺️☺️ dibanding anaknya, Dwika jadi kelihatan alim ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Siapa yang kesel sama Dika?
Yuk acungkan tangan ☺️☺️☺️ dibanding anaknya, Dwika jadi kelihatan alim ya

"Kita akhiri saja, ya. Aku nggak bisa besarin dia sendirian."

Ya, aku tidak bisa membesarkannya. Aku tidak sekuat orang-orang diluar sana yang bisa menjadi Ibu tunggal. Bayangan cacian dan hinaan orang-orang tentang kehadirannya yang berasal dari dosa terbayang-bayang di benakku, menghantuiku dengan cara yang mengerikan.

Membulatkan tekad karena hanya ini satu-satunya cara terbebas dari rasa malu dan juga semua masalah yang ada, kuhantam kuat-kuat kaca wastafel di toilet ruang rawat VIP ini, suara pecahan kacanya bergema nyaring ditempat yang senyap ini saat serpihan itu jatuh berhamburan bahkan ada yang mengenai tubuhku.

Sakit? Tentu saja, tapi aku tetap bergeming di tempatku sama sekali tidak bergerak. Dibandingkan goresan kaca ini hati dan jiwaku jauh lebih sakit. Tanpa ada keraguan sedikit pun aku meraih salah satu serpihan kaca tersebut, kuraih yang paling tajam dan membawanya ke depan wajahku memperhatikan dengan seksama bahwa sudut menyakitkan inilah yang akan mengakhiri semuanya.

Ya, semuanya akan berakhir. Ucapku pada diriku sendiri. Tidak akan yang mencelaku atas hal buruk yang terjadi padaku sekarang, yang paling penting aib ini akan terkubur selamanya, dan orangtuaku tidak akan malu. Kupandangi lenganku, hal yang baru aku sadari adalah aku yang kini begitu kurus karena beberapa waktu ini aku kesulitan makan dengan benar, aku kira aku masuk angin namun ternyata ini karena ada nyawa lain tumbuh di dalam rahimku.

"Maaf, tapi lebih baik seperti ini. Hidupmu akan berantakan jika terus bertahan."

Tanpa ada rasa ragu sedikitpun aku menggoreskan kuat-kuat pecahan kaca tajam yang aku pegang ini ke pergelangan tanganku. Sakit luar biasa seketika menyerang seiring dengan tetesan darah yang mengalir deras dari pergelangan tanganku, pusing yang sempat aku rasa seketika melanda. Denging pelan diwarnai dengan suara tetesan darah seakan bergema di seluruh toilet ini.

Sakit, ya, sakitnya luar biasa hingga tidak bisa aku deskripsikan dengan kata-kata. Namun inilah yang aku nanti dan aku inginkan. Tidak ada lagi air mata yang menetes di pipiku, saat akhirnya tubuhku ambruk dipecahan kaca yang menyebar di lantai, senyumanku terus mengembang. Perlahan rasa sakit itu memeluk tubuhku dengan erat membisikkan sebuah kenyamanan jika pedih yang aku rasakan akan hilang tergantikan olehnya. Ya, tinggal sedikit lagi, semakin sakit maka akan semakin cepat rasa pedih ini menghilang, berulangkali aku membisikkan kalimat itu untuk diriku sendiri.

Sendirian di dalam toilet ini aku terbaring dalam genangan darah dari pergelangan tanganku, menghitung detik demi detik sebelum akhirnya kegelapan perlahan menyelimutiku yang aku sambut dengan sukacita. Bunuh diri memang hal yang dilarang dalam agamaku, tapi inilah jalan yang aku ambil karena nyatanya ujian yang Enhkau berikan pada Hamba tidak sanggup aku lewati.

Ya Allah, maafkan Hamba-Mu ini.

Disaat itu aku sudah benar-benar menyerah dengan hidupku, tidak ada lagi keinginan untuk melanjutkan hidup lagi lebih lama. Aku berharap seorang yang menemukanku nanti tepat saat aku sudah tidak bernyawa karena aku sama sekali tidak ingin diselamatkan.
Sayangnya di dunia ini tidak ada yang berjalan seperti yang aku inginkan. Kesadaranku sudah menghilang, mungkin nyawaku sudah sampai diujung tenggorokan dan bersiap dijemput oleh malaikat Izrail saat tiba-tiba saja pintu toilet di dobrak hingga lepas dan membawaku pergi dari genangan darah yang melumuri seluruh tubuhku.

Sebuah penyelamatan yang sama sekali tidak aku inginkan dan membuatku semakin membenci dirinya.

.........

Pusing dan lemas, itulah yang aku rasakan sekarang. Rasa familiar yang membuatku mendesah pelan, jika aku masih merasakan kesakitan sudah pasti sekarang ini aku tidak di alam barzakh, segalanya tenang tanpa ada malaikat yang menungguku untuk memberikan hukuman.

Jika ada orang yang menyesali karena selamat dari maut mungkin aku adalah satu-satunya. Aku mengira aku sudah mati dan saat terbangun aku sudah didalam tanah menanti pengadilan akhir, namun nyatanya takdir masih menahanku di dunia yang keji ini.

Aku enggan membuka mata, namun suasana terang yang menyergap mataku membuatku perlahan membuka pandangan, perih, rasa itu aku rasakan dimata dan tanganku yang hendak aku angkat untuk menghalau sinar terang itu pun terasa sakit. Yah, lebih tepatnya seluruh badanku terasa remuk, hancur hingga tidak bisa aku deskripsikan lagi rasanya.

"Sudah sadar rupanya." Kalimat ketus itulah yang pertama kali menyambutku. Mataku menatap berkeliling, untuk sejenak aku berharap hal-hal buruk yang terjadi hanyalah sebuah mimpi mengerikan yang akan menghilang seiring dengan bangunnya aku dari tidur namun saat melihat ruang rawat yang sama, tempat yang menjadi saksi bisu bagaimana orangtuaku mengusirku dari kehidupan mereka aku sadar jika ini adalah kenyataan menyakitkan yang membuatku nekad mengakhiri hidup.

Dan manusia yang mengeluarkan kalimat ketusnya adalah tersangka utama yang sudah menghancurkan hidupku. Tanpa ada niat untuk berbicara dengannya, aku memilih untuk berusaha bangun, tenggorokanku terasa begitu kering dan aku butuh air minum.

Dengan tubuh penuh luka, dan pergelangan tangan yang kini sakitnya luar biasa tentu saja bangkit dari tidurku adalah hal yang sulit untuk aku lakukan sendiri. Jika saja ada orang lain di ruangan ini tentu aku sudah meminta pertolongan pada mereka, sayangnya hanya ada Kak Andika dan aku sudah bertekad tidak ingin berbicara dengannya meski nanti aku akan mati kehausan.

Awalnya pria itu hanya diam membisu dikursi yang tersedia di ruang inap VIP ini, melihatku berusaha sendiri dengan acuh tapi jangankan untuk meraih gelas air mineral yang memang tersedia di nakas, untuk bangkit pun aku tidak bisa, pada akhirnya sebuah decakan terdengar saat dia bangkit dan menghampiriku.

"Apa mulutmu itu ikut kamu sobek sampai nggak bisa dipakai buat ngomong? Tinggal bilang pengen minum apa susahnya?" Mulut itu terus mendumal saat dengan mudahnya dia mengangkat tubuhku dan mendudukanku, tidak ketinggalan pula dia mengulurkan gelas lengkap dengan pipetnya untuk aku minum, satu hal yang memang aku perlukan karena mulutku bagian dalam robek karena tamparan Baba berulang kali.

Mengingat kemarahan Baba membuat rasa sakit yang berdenyut tidak ada apa-apanya lagi, hatiku jauh lebih sakit. Dadaku begitu sesak untuk sekedar bernafas. Air yang sebelumnya aku minum dengan cepat mendadak terasa seperti batu yang tidak bisa aku telan. Tentu saja aku yang terdiam tiba-tiba ini membuat keheranan pria berengsek yang ada di sisiku ini, dan seperti yang sudah-sudah, kembali dia  melontarkan kalimatnya yang menyakitkan untukku.

"Ada apaan lagi mendadak bengong kayak gini? Mikir mau buat ulah lagi?Berhenti jadi manusia yang nyusahin aku terus menerus, Shireen. Berhenti mencari perhatian dengan hal-hal yang memuakkan. Aku sudah cukup pusing dengan kehamilan dan percobaan bunuh dirimu yang konyol ini, jangan tambah dengan masalah yang lainnya lagi."

Bersamamu, Aku TerlukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang