Part 20

2.3K 316 32
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kemaleman upnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Kemaleman upnya.
Yuk absen dulu siapa yang udah nemenin Mbak Shireen buat getok palanya Mas Andika biar sadar gitu

"Aku mau gugurin anak ini."

Mendengar kalimat yang diungkapkan oleh wanita yang duduk menatap televisi dengan pandangan kosong tersebut membuat Andika yang sebelumnya menunduk lesu langsung mendongak dan menatapnya dengan pandangan tidak percaya.

Percayalah, sekarnag ini Andika pun sama kalutnya seperti Shireen tapi tidak terbersit sedikit pun dibenak Andika untuk membuang nyawa yang kini tumbuh di dalam rahim wanita yang tidak lain adalah sahabat dari Maisara ini.

"Lo sinting? Udah gila ya lo ini? Kita udah berbuat dosa sebagai seorang pezina dan lo mau nambah-nambahin dosa sebagai pembunuh juga? Nggak waras emang lo ini!"

Tes....... Air mata Shireen menetes perlahan, begitu lambat namun tidak bisa Shireen hentikan. Dibalik ketenangan yang Shireen perlihatkan sekarang dalam menghadapi masalah pelik ini tanpa isakan dan tangis maupun kemarahan, hati dan kewarasannya benar-benar terguncang. Sulit rasanya untuk Shireen hidup setelah semuanya hancur tidak bersisa. Saat Shireen menatap ke arah Andika, wajah tirus wanita yang tertutup sebagian hijab yang hanya dipakainya asal tersebut adalah pemandangan paling menyedihkan yang pernah Andika lihat seumur hidupnya.

"Lantas apa maumu, Kak? Kamu ngatain aku gila karena aku mau gugurin bayi ini sementara kamu sendiri pun nggak bisa nerima dia! Kamu kurung aku disini apa maksudnya? Apa matamu buta sampai nggak bisa lihat gimana hancurnya hidupku sekarang?"

"................"

"Dan lagi, aku bukan seorang Pezina!! Aku adalah korban pemerkos44n yang sudah kamu lakukan. Kamu berkata aku punya pilihan untuk menolak, tanpa kamu tahu bagaimana usahaku untuk lari dari kelakuan bejatmu. Aku menangis, aku berteriak tapi kamu tuli dengan semua itu. Apa salahku ke kamu Kak sampai kamu sejahat ini ke aku."

Untuk pertama kalinya setelah beberapa waktu Shireen terdiam, Shireen meluapkan kemarahannya pada Kakak kandung Maisara ini, seorang yang awalnya Shireen kira sebagai sosok sempurna laki-laki penyayang karena melihat betapa indahnya Andika menjaga Maisa dan Ibunya tanpa pernah tahu betapa brengseknya Kapten di Batalyon Kota Bogor ini di sisi lain hidupnya.

"Lebih baik kita akhiri saja semuanya, Kak. Aku nggak bisa menerima bentuk pertanggungjawabanmu ini. Aku nggak sanggup hidup di masyarakat sebagai Ibu tunggal, aku nggak mau anakku di caci anak haram tanpa seorang Ayah. Disini hanya aku yang dirugikan sementara kamu dengan bebasnya melenggang tanpa noda dan dapat menjalani kehidupanmu dengan normal."

Shireen mengusap air matanya dengan kasar, sungguh di sangat membenci Andika. Bertemu dengannya adalah penyesalan terbesar Shireen dalam hidupnya yang membuatnya merasa mati lebih baik daripada hidup menanggung beban seperti ini.

"Bersamamu, aku terluka, Kak! Aku benar-benar sakit dengan semua caramu dalam memperlakukanku. Segala syarat yang kamu bicarakan terdengar seperti sebuah permainan. Bahkan hanya untuk sekedar kata maaf pun kamu tidak bisa melakukannya."

Shireen menunduk, mengusap air matanya yang terus menerus mengalir tanpa henti, sebelumnya Shireen berjanji dia tidak akan menangis lagi dihadapan Andika, namun nyatanya dia tetap menangis dan meraung-raung saking sesaknya dadanya atas beban yang menghimpit dadanya ini.

"Kamu bilang ini adalah solusi paling rasional untuk masalah ini. Sekarnag aku tanya Kak, kalau nasib burukku ini terjadi pada Maisa dan solusi ini yang diberikan apa kamu terima? Apa kamu mau adikmu dipermainkan seperti kamu mempermainkanku? Aku ini manusia, Kak. Bukan cuma kamu yang punya hati dan punya rasa nggak adil sama takdir. Bertanggungjawablah dengan benar bukannya malah menjadi-jadi mempermainkanku."

Jika sudah seperti ini, hati Andika pun turut teriris, pada dasarnya Andika adalah pria yang lemah terhadap wanita, apalagi selama ini Andika pun dekat dengan Shireen. Status Shireen sebagai sahabat Maisa dan juga sepupu Dilla membuat mereka banyak berinteraksi. Tapi soal hati Andika benar-benar tidak bisa.

Kejadian malam nahas itupun benar-benar diluar kendali Andika, dirinya sendiri pun tidak menyangka jika dia bisa menjadi sebejat itu. Alasan terbesar Andika tidak mau meminta maaf karena Andika tidak ingin mengakui kesalahannya. Memutuskan untuk menikahi Shireen pun satu hal yang berat untuk Andika lakukan, jika bukan karena ancaman Tante Riana, istri Om Abra, mungkin Andika masih akan kekeuh dengan pendiriannya yang bertanggung jawab secara finansial saja tanpa melibatkan pernikahan. Karena selain menikah tidak mudah untuk pejabat militer sepertinya, Andika pun masih berat pada Dilla yang tidak ingin dia tinggalkan. Ya kembali lagi, alasan terbesar Andika tidak bisa bertanggungjawab adalah Dilla.

Tiga tahun Andika mengejar cinta Dilla dan saat akhirnya cintanya bersambut masalah kehamilan Shireen ini muncul, membuatnya di hadapkan pada satu pilihan yang tidak mudah.

Dan sekarang saat nama Maisa disebut oleh Shireen, Andika serasa tertampar. Dengan kasar pria berusia 34 tahun tersebut mengusap wajahnya kasar, egois bukan seorang Andika ini, membayangkan hal ini terjadi pada adiknya Andika tidak terima tapi dia menjadi begitu brengsek kepada Shireen.

"Reen, kita nggak saling cinta. Bukan maksudku mempermainkan pernikahan tapi pada akhirnya menikah pun pada ujungnya kita akan berpisah karena tidak ada fondasi kuat dalam hubungan kita. Aku ngomong kayak gini justru karena aku mikirin kamu, aku juga mau kamu bahagia. Biarkan anak itu sama aku, dan kamu bisa bebas menjalani hidupmu setelahnya."

Andika benar-benar memohon kepada Shireen, kepalanya serasa ingin meledak memikirkan masalah ini dan keputusan yang harus dia ambil sebelum masalahnya semakin keruh jika orangtuanya sampai tahu dari orang lain. Sementara waktu ini Andika bisa bernafas lega karena orangtua Shireen tidak menemui orangtuanya, kurang ajar memang karena sebenarnya hal itu menunjukkan jika orangtua Shireen benar-benar telah membuang Shireen, dan juga istrinya Om Abra, Tante Riana, bersedia memberikannya waktu untuk berbicara baik-baik dengan Shireen terlebih dahulu. Mungkin jika orangtuanya tahu, kepala Andika akan ditembak hidup-hidup oleh Sang Ayah.

"Reen, aku mohon." Untuk pertama kalinya seumur hidupnya Andika berlutut, memohon kepada Shireen agar masalah ini segera selesai dengan cara yang sudah dia tentukan. Andika sudah benar-benar kehilangan akal, dia sudah tidak tahu lagi bagaimana menghadapi Shireen dan kemauannya yang tidak Andika pahami. Seandainya saja Andika boleh memilih mungkin Andika akan lebih memilih bertarung dengan 20 orang sekaligus daripada menghadapi perempuan hamil dan mood swingnya yang ekstrim ini.

Shireen membeku, dia benar-benar tidak bisa menerima semua hal yang ditawarkan oleh Andika karena itu sama saja keluar dari mulut buaya masuk ke mulut singa. Semuanya merugikan dirinya dan Shireen merasa dia hanya dipermainkan.

Keduanya saling menatap, menyelami hati satu sama lain hanya dengan pandangan mata. Terlihat luka menganga di sorot mata Shireen namun Andika memilih mengabaikannya saat nama Dilla terus berdengung di telinganya sampai akhirnya kesunyian ini pecah dengan suara berat di iringi dengan banyak langkah kaki yang mendekat.

"Bagaimana bisa kamu menawarkan pernikahan macam itu kepada Ibu dari anakmu, Andika? Bertanggungjawablah dengan benar, dan jangan membuat pernikahan sebagai kesalahanmu yang lainnya."

"............"

"Nggak akan ada orang waras yang mau menerima pernikaha macam permainan seperti yang kamu tawarkan ini."

Bersamamu, Aku TerlukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang