3 : Manusia Berpita Merah (2)

19 5 0
                                    

Kepalaku melihat ke atas, berusaha menemukan penyebab yang terjadi di depan mataku. Sekilas aku melihat bayangan seorang laki-laki disana. Melihat ke arahku, mengamati sekitar.

Kakiku berlari kencang menuju atap. Berharap dapat sampai disana sebelum laki-laki diatas sana kabur. Beberapa kali aku berusaha bernapas di tengah anak tangga. Ternyata staminaku hanya segini, tubuh lemah sialan ini.

Akhirnya aku sampai diatap dengan napas tersengal hebat. Tak punya waktu untuk memperbaiki napas, aku melihat sekitar. Tentu saja laki-laki itu pasti sudah kabur. Apa yang aku harapkan?

Seperti mendapat sebuah harapan, aku melihat rumput liar yang tumbuh di sela-sela semen. Aku mendekat, berlutut berusaha menyamakan tinggiku. "Apa yang terjadi?"

"Manusia berpita merah meneteskan cairan dari bola matanya. Manusia lainnya sangat berisik, dia membiarkan manusia berpita merah melayang bebas di udara." Aku berpikir, berusaha mencerna apa yang dikatakan oleh rumput liar itu. Setelahnya, aku menyentuhnya lembut sebagai tanda terimakasih. Seketika sebuah bunga tumbuh diantara mereka.

Tubuhku berbalik, berniat untuk kembali menuruni tangga. "Serim?" Namun aku malah terkejut dengan keberadaan Serim disana.

"Kapan kamu sampai?"

"Aku melihat semuanya."

-----

Sekolah dibubarkan paksa karena situasi sangat tidak kondusif saat itu. Para murid diberi waktu libur seminggu supaya polisi dapat menginvestigasi kasus ini dengan bebas. Mereka tidak mau tempat kejadian perkara dirusak oleh murid sekolah ini.

Tetapi baru saja tiga hari kemudian, berita sudah menyatakan bahwa kematian gadis itu adalah bunuh diri. Saat membacanya emosiku terkuras hebat. Entah kenapa aku menjadi sangat marah karenanya.

Berita itu disiarkan secara ekslusif. Menjadi berita utama, ditampilkan pula di layar besar pada gedung-gedung tinggi. Berita itu cukup menggemparkan negara saat itu.

Ini tidak benar. Tidak seperti aku yang biasanya. Aku yang bahkan tidak peduli pada nyawa manusia sekalipun kenapa bisa sangat marah seperti ini.

Udara saat ini masih terlalu dingin untuk beraktivitas. Sengaja aku pergi ke sekolah pagi sekali, segera menghampiri tempat dimana tubuh kaku gadis itu ditemukan.

Kosong. Sudah tidak ada apa-apa disana. Hanya ada setumpuk tanah sengaja ditaruh diatas genangan darah kemarin supaya darah itu mengering.

Aku terdiam, pikiranku berkelana dalam ingatanku. Gadis itu bilang, jika dia menyuarakannya, aku dan dia mungkin tidak akan bisa bersekolah. Satu-satunya yang berkuasa dan mungkin melakukan itu adalah kepala sekolah.

Kakiku bergegas pergi menuju ruangan kepala sekolah. Sebelum kepala sekolah sendiri tiba di sekolah. Letak ruangan itu berada di dalam ruang guru, sehingga aku harus melewati dua pintu untuk mencapai ruang kepala sekolah.

Terbuka. Aku tidak menyangka perjalanan akan semulus ini. Pintu ruang guru dan bahkan ruang kepala sekolah tidak terkunci sama sekali.

Bingo! Aku melihat tanaman diatas meja kepala sekolah.

Baru saja aku ingin melangkah masuk kedalam, suara berisik di luar ruang guru membuatku mengurungkan niat. Suara itu adalah suara kepala sekolah dan guru-guru yang sedang mengbrol sambil berjalan kearah sini. Tak heran mengapa semua ruangan tidak terkunci sama sekali, karena mereka sudah tiba sedari tadi di sekolah.

Nekat aku memaksa masuk. Aku tidak peduli meski akan ketahuan sekalipun. Namun sebuah tangan berhasil menarikku kembali keluar. Pasrah aku melihat tanaman itu tanpa sempat untuk mengobrol dengannya.

Tarikan itu membuat jarak diantara tubuh kami nol persen. Serim, pemilik tangan itu, menaruh jari telunjuknya di depan mulut, sambil mendesiskan sedikit udara, menyuruhku untuk diam.

"Lepas!" Aku memberontak. Sementara Serim tampak kebingungan, resah, melihat keluar menembus jendela.

Kami sudah tidak punya waktu untuk bersembunyi sekarang. Kepala sekolah dan para guru sudah memasuki ruangan dimana kami berada.

"Nak Serim? Ada keperluan apa kemari?" Pak kepala sekolah bertanya pada Serim, sambil sesekali melirik kami bergantian.

"Serim kemari untuk mengambil keperluan kelas pak." Serim disampingku berubah drastis, tampak seperti laki-laki yang sopan dan tenang. Dia menyodorkan lagi dua spidol biru yang dia bawa entah dari mana.

"Lagi? Sekolah bisa dirampok oleh kelas kalian kalau begitu terus." Pak kepala sekolah tertawa, tidak sejalan dengan kalimatnya yang mengandung sarkas. Serim sering kemari rupanya, sampai pak kepala sekolah pun mengenal dirinya.

Serim tertawa kecil, "Baik kalau begitu kami pamit untuk kembali ke kelas pak."

Kami berdua berjalan di koridor tenang. Udara dingin masih menyelimuti kami karena cahaya hangat matahari masih mengintip dibalik gedung-gedung tinggi.

Aku melebarkan langkahku, sengaja berjalan di depan Serim, tanda merajuk. Namun itu tak bertahan lama. Aku berhenti, lalu berbalik melihatnya juga berhenti karenaku. "Kenapa kamu bisa berada di dalam ruang guru?" Mataku memincing curiga, dia tidak diam-diam mengikutiku selama ini kan?

"Spidol?" Dia menyodorkan kedua spidol birunya, kepalanya miring sambil memasang wajah tidak tahu malu andalannya.

Aku menghembuskan napas, "Sudahlah." Lalu berbalik meneruskan perjalanan.

"Kamu pasti mengetahui sesuatu tentang kasus kemarin kan?" Serim bertanya, berhasil membuat langkahku terhenti kembali. Atmosfer sekitar berubah lebih serius dari yang aku kira.

"Kenapa? Apa itu kasus pembunuhan?" Tambahnya lagi. Rasa penasarannya sudah diambang batas sekarang.

Melihatku yang tak kunjung memberikan jawaban, Serim memberikan pertanyaan tambahan, "Bukannya sudah saatnya aku mengetahui apa yang terjadi? Kamu akan melarikan diri lagi seperti di atap waktu itu?" Dia masih belum melupakan kejadian itu. Aku pergi dari atap tanpa memberi penjelasan apapun padanya saat itu.

"Apa kamu akan melakukan semuanya sendiri?"

"Aku bisa mengurus urusanku sendiri, tidak memerlukan bantuanmu." Kakiku kembali berjalan berusaha kabur.

"Aku bertanya karena khawatir pada penyelamat nyawaku."

"Tidak usah merasa hutang budi, aku melakukannya untuk menyelamatkan diriku sendiri saat itu." Kami benar-benar berpisah setelahnya. Serim tidak lagi berusaha menahanku atau bertanya. Mungkin dia menghormati keputusanku saat itu.

My Universe || CravityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang