8 : Mengenal Park Serim

23 2 1
                                    

Mataku dimanjakan oleh kerja keras kami selama ini. Berkat hukuman kami, lingkungan sekolah menjadi lebih bersih daripada sebelumnya. Mengingat semua kerja keras kami, bahkan halaman sekolah seolah mengeluarkan partikel cahaya kecil sangking bersihnya.

Setelah tiga hari, pekerjaan kami terasa lebih ringan. Tidak banyak yang harus dibersihkan karena kami membersihkannya setiap hari.

Seperti biasa aku menyapu daun-daun kering baru di halaman, lalu mengumpulkan semuanya ke tempat sampah. Satu sapuan lagi, dan semuanya selesai.

"Park Serim! Tumben sekali kamu tidak kabur hari ini." Seongmin berkata, menyindir. Tiga hari ini Serim memang selalu tidak mengikuti hukuman di waktu pulang sekolah. Tetapi sebagai gantinya dia melaksanakan hukuman di waktu istirahat.

Serim menancapkan sapunya —walaupun tidak sampai tertancap, untuk menambah keyakinan lawan bicaranya, "Tidak, aku bisa pulang terlambat hari ini." Katanya dengan percaya diri.

Aku menatapnya. Ada kata-kata yang tertahan di tenggorokanku, tidak bisa dikeluarkan. Aku ingin bertanya padanya kenapa dia selalu pulang tepat waktu, namun aku merasa tidak pantas untuk mengetahuinya.

"Waktunya pulang!" Taeyoung berseru riang. Melemparkan sapunya ke arah sudut koridor, gagangnya masuk tepat sasaran pada tempat sapu tinggi disana. "Yes!" Dia merayakan keberhasilannya.

Kami sengaja mengumpulkan tas kami di lantai koridor karena tidak mau kembali ke kelas kami yang cukup jauh dari halaman. Diam-diam aku mendekati Serim yang akan membawa tasnya disana, "Serim, ingin pulang bersama?" Aku menarik kerah lengannya pelan.

Yang lainnya sudah pergi menuju gerbang sekolah sejak tadi. "Oke." Serim membalas singkat. Setelahnya mengangkat panggilan ponsel yang sudah berbunyi sejak tadi.

"Apa? Iya, kakak akan kesana sekarang." Ekspresi Serim tampak berubah seketika. Dia mematikan panggilan ponselnya lalu menatapku, "Maaf sepertinya aku tidak bisa mengantarmu Cecil." Kata-katanya keluar dengan cepat, menandakan dia sedang terburu-buru.

"Kalau begitu aku ikut saja!" Aku menjawab juga terburu-buru.

Serim hanya bingung masih menatapku. "Kemanapun kamu sekarang, aku akan ikut, ada sesuatu yang perlu aku tanyakan." Aku menjawab wajah bingungnya.

Aku menerima helm yang disodorkan oleh Serim. Entah kenapa dia selalu membawa dua helm setiap hari. Aku tidak ingin terlalu percaya diri kalau dia membawa helm itu untukku.

Kami akhirnya berkendara menuju tempat yang aku sendiri tidak mengetahuinya. Serim lebih sering diam sekarang, dia bahkan tidak penasaran pada sesuatu yang ingin aku tanyakan.

Kendaraan kami berkendara cukup cepat. Meskipun terburu-buru, Serim tetap mengemudikan motornya dengan aman, tidak meliuk-liuk tajam.

Berkendara melewati jalan raya, hingga masuk pada jalan sempit. Serim memberhentikan motornya tepat di depan sebuah rumah.

Aku membuka helmku, lalu turun dari motor. Halaman rumah itu tidak bisa dibilang luas, tidak bisa juga dibilang sempit. Salah satu yang menarik perhatianku adalah pohon besar yang berdiri di pinggir halaman. Selebihnya tidak ada yang spesial, hanya rerumputan menggelar di seluruh halaman.

Serim membuka pagar rumah itu, menghasilkan suara. Motornya masuk melindas rerumputan dihalaman. Serim menatapku, lalu menatap rerumputan yang dilindas motornya bergantian, "Oh, maaf, apa mereka berteriak padamu?" Dia bertanya.

Aku menggelengkan kepalaku, "Mereka tidak pernah mengeluh atau berteriak meski diinjak, dipetik, atau dipotong." Ucapanku entah mengapa membuat suasana canggung.

Serim menaruh helmnya di bagian teras, aku mengikuti jejaknya. "Ini rumahku." Serim memberitahuku lembut. Dia membuka pintu rumahnya dan membiarkanku masuk, melihat isi rumahnya.

Tepat setelah memasuki pintu utama, ruang tamu ditampilkan. Terlihat sederhana, hanya beralaskan karpet dan meja pendek. Tidak banyak alat elektronik disana, hanya radio yang tampaknya sudah dimakan zaman. Aku bahkan tidak tau apa radio itu masih menyala atau tidak.

"Sera, bagaimana keadaan nenek?" Serim berkata, sambil membuka pintu salah satu ruangan yang terhubung langsung dengan ruang tamu.

"Kakak! Badan, nenek, panas, sekali, Sera menaruh, kompres, tetapi nenek belum juga sembuh." Sera muncul di bingkai pintu. Ada jeda isak tangis di setiap kalimatnya. Jadi dia adik Serim yang dibicarakan Taeyoung.

Serim menyamakan tingginya dengan Sera, "Kerja bagus." Dia tersenyum sambil menepuk pelan pucuk kepala Sera.

Mata bulat Sera beralih menatapku, secara tidak sadar membuat isak tangisnya berhenti, "Kakak siapa?"

"Ah iya, ini Kak Cecil."

Rambut hitam legam Sera dikepang rapi dengan poni di depannya. Mata yang awalnya bulat itu mulai menyipit menyerupai bulan sabit, "Apa kak Cecil pacarnya Kakak?" Dia tersenyum, persis sekali dengan Serim. Tangisnya tadi sirna begitu saja.

"Tidak!" Kami menjawab serempak.

"Payah! Kakak pasti belum menyatakannya pada kak Cecil kan." Sera melirik Serim, ada nada menghina dalam intonasinya.

Mulut serim dimajukan, sambil mengeluarkan sedikit angin, "Apa yang kamu bicarakan Sera." Dia memukul hidung Sera dengan telunjuknya, membuat Sera mengedipkan matanya sebagai pertahanan diri. "Sudahlah, kakak akan memeriksa nenek," Tambahnya lagi, lalu melangkah masuk melewati Sera.

Di dalam sana terbaring wanita tua diatas kasur yang tidak terlalu tinggi. Wajahnya masih terlihat cantik, hanya keriput dimatanya saja yang membuatnya terlihat tua. Dikepalanya terdapat kompres yang dibicarakan Sera, lipatannya terlihat berantakan, masih meneteskan banyak air.

Dengan cekatan Serim memperbaiki kompresan itu, membuat nenek Serim tersadar, "Serim, nenek baik-baik saja, nenek harus bekerja." Kata nenek Serim, berusaha bangkit dari tempat tidur.

Ternyata nenek Serim bekerja dengan tubuhnya yang tua. Serim pasti sering pulang awal karena harus menjaga Sera dirumah. Aku seharusnya memarahi Seongmin yang sering menyindirnya.

"Nenek ini bicara apa, tubuh nenek sudah panas seperti ini masih saja mau bekerja." Serim menghambat Neneknya, membuat nenek Serim kembali terbaring.

Nenek Serim terkekeh pelan, "Kamu ini jangan memarahi nenek didepan gadis cantik." Dia menatapku, masih tersenyum, "Siapa namamu nak?"

"Saya Cecil nek." Aku menundukkan kepala dengan sopan.

"Jadi dia gadis yang membuatmu selalu pulang telat akhir-akhir ini?"

"Sudah jangan bicarakan itu lagi, nenek sudah makan? Aku akan membelikan obat untuk nenek." Serim segera beranjak pergi keluar tanpa menunggu penjelasan neneknya.

Meninggalkanku dengan keluarganya.

My Universe || CravityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang