19 : Bayangan Hitam

6 0 0
                                    

Sepuluh siswa sedang berkumpul di gazebo sekolah. Melingkar dengan kotak makan siang masing-masing didepan mereka. Benar, sepuluh siswa itu adalah aku dan mereka.

"Tara, aku bangun lebih pagi untuk menyiapkan sarapan lezat ini." Taeyoung membuka kotak makan siangnya paling pertama. Mengeluarkan aroma sedap namun tampilannya berantakan.

"Padahal aku membuat hati diatas sini, namun sudah rusak." Taeyoung layu ditempatnya.

Sementara Seongmin ikut membuka kotak makan siangnya. Menampilkan sebuah makanan mewah dengan dekorasi yang awet walaupun terguncang hebat didalam tasnya.

Woobin ikut membuka kotak makan siangnya. Bisa ditebak masakannya tidak pernah gagal.

"Kenapa hanya dekorasi di kotak makan siangku saja yang rusak." Taeyoung tambah murung, membandingkan kotak makan siangnya dengan Seongmin dan Woobin.

"Sudah aku bilang, lebih praktis beli saja di kantin. Lihat, fresh from the oven." Wonjin memamerkan makan siangnya yang dia beli dari kantin.

"Curang!"

Wonjin tertawa puas melihat Taeyoung yang sudah bersusah payah memasak, namun tampilannya tidak menggugah selera sama sekali. "Taeyoung, dibelakangmu." Tawanya berhenti bersamaan dengan lensa matanya yang melebar, berusaha fokus pada satu titik.

"Kamu balas dendam atas yang terjadi dirumah Serim waktu itu? Trik seperti itu tidak akan mempan lagi padaku." Taeyoung mengambil suapan pertamanya. Diikuti oleh yang lain.

"Tidak, aku sungguh-sungguh, aku melihat bayangan dibalik pohon itu. Apa tidak ada yang melihatnya selain aku?" Wonjin belum juga memakan makanannya, menatap kami satu persatu.

"Aku juga melihatnya." Woobin berbicara sambil mulutnya penuh oleh makanan. Posisinya duduk bersebelahan dengan Wonjin, juga menghadap pada pohon yang Wonjin katakan.

"Iya kan? Aku tidak mengada-ada!"

Hyeongjun memberhentikan aktivitas makannya, "Apa? Jangan membuat aku takut, tidak lucu." Memprotes pada Wonjin.

"Sudah aku bilang aku tidak bohong tau. Cecil, kamu bisa mencari tau apa itu? Dengan kekuatanmu itu." Wonjin berbicara padaku, mempraktekkan pose suatu karakter anime kesukaannya untuk menyimbolkan kekuatanku.

"Jangan membuat Cecil jadi tidak nyaman." Serim ikut menimbrung setelah namaku disebut.

"Ah ayolah! Lagipula itu tidak akan membebanimu kan? Ayo kita lakukan kegiatan detektif kita lagi seperti waktu itu." Wonjin memohon padaku dengan bertingkah lucu.

Aku melihat pohon yang dimaksud Wonjin, "Bagaimana? Apa kamu tau sesuatu?" Aku bertanya padanya. Membuat mereka semua berfokus padaku.

"Hah?" Wonjin kebingungan, dia kira aku bertanya padanya.

"Seorang manusia melihat ke arah manusia yang membawa alam semesta cukup lama, dia pergi dengan membawa daunku yang tertiup oleh angin." Pohon itu menjawab. Jawaban dari pohon itu cukup aneh. Untuk apa ada seseorang yang memperhatikanku diam-diam dalam waktu yang cukup lama.

"Itu manusia." Aku meneruskan pembicaraan itu pada Wonjin.

"Benar kan! Kalian tidak percaya padaku! Lalu, apa yang dia lakukan?" Wonjin kegirangan dengan kebenarannya. Padahal Woobin bilang dia pun melihatnya, namun dia berbicara seolah hanya dia yang melihatnya.

Semua mata masih terfokus padaku, "Dia melihat ke arahku, cukup lama."

"Apa itu? Membuatku merinding saja." Jungmoo mulai tenggelam dalam misteri ini.

"Lalu pertanyaan terakhir, siapakah dia?" Wonjin tambah bersemangat.

"Manusia?" Aku mengeluarkan ekspresi tidak tahu malu. Rupanya aku sudah tertular oleh Serim. Menyebalkan.

Fokus mereka kembali buyar. Tidak puas dengan jawabanku. "Apa yang kalian harapkan dari tumbuhan yang tidak punya akal?" Tambahku, mencoba membuat mereka mengerti.

"Misteri ini masih belum terpecahkan bahkan oleh kekuatan Cecil." Seongmin kecewa ditempat.

"Bagaimana kalau kita mencari tahu sendiri?" Taeyoung memberikan usulan. Kami jadi sedikit bersemangat dengan suatu misteri karena kasus kemarin.

"Ide bagus, apa kamu bisa melacak seseorang itu dengan menggunakan kekuatanmu Cecil?" Wonjin meminta lagi padaku.

"Sejujurnya aku agak khawatir karena kamu bilang dia melihat ke arahmu cukup lama." Serim setuju dengan rencana ini. Lagipula aku sendiri pun penasaran.

Kebetulan saat itu ada seorang kucing hitam yang tengah terduduk disamping pohon yang dimaksud tadi. "Kucing hitam yang disana, apa kamu melihat manusia dibalik pohon itu tadi?" Semua mata kembali berfokus padaku karena aku bertanya pada kucing itu.

"Apa maksudmu nyaong, sepertinya aku tidak ingat nyaong." Inilah alasanku lebih suka berbicara pada tumbuhan daripada hewan. Mereka menyebalkan karena mempunyai otak.

"Ada yang membawa makanan kucing atau daging? Dia bilang ingin makan." Aku berbicara pada yang lain.

"Kamu juga bisa melakukan itu?" Serim bertanya padaku, takjub. Benar juga, aku hanya menjelaskan kalau aku bisa berbicara dengan tumbuhan. Padahal aku bisa berbicara pada semua makhluk hidup di alam semesta ini.

Allen mengorbankan sedikit dagingnya untuk diberikan pada kucing itu. Karena kebetulan dia sedang membawa bekal daging ayam.

"Enak sekali nyaong." Kucing itu menikmati makan siangnya.

"Kamu pasti sudah ingat sekarang kan?"

"Ikuti aku nyaong." Dengan cepat aku membereskan bekalku dan mrngikuti kucing itu menuju suatu tempat. Yang lainnya cepat paham dengan situasi dan mengikuti jejakku.

Kucing itu menuntun kami menuju gerbang depan sekolah. "Bau manusia itu berhenti disini nyaong." Kucing itu berhenti ditempat, mulai menjilati bulu hitamnya.

"Katanya bau manusia itu berhenti disini." Aku menjelaskan situasinya pada yang lain.

"Gerbang depan sekolah?" Taeyoung bertanya pada dirinya sendiri. Aku yakin yang lain pun mempertanyakan hal yang sama.

Minhee melihat kanan kiri, mencari petunjuk, "Apa kamu bisa melacaknya jika keluar dari sekolah Cecil?"

"Kamu tidak memberiku hadiah nyaong?" Kucing itu belum juga beranjak pergi.

"Hadiah?"

"Iya, aku ingin sentuhan hangat itu nyaong, sangat nyaman."

"Pertanyaan terakhir, apa kamu tau siapa manusia itu?" Aku memberi syarat untuk sentuhanku. Negosiasi adalah kunci dari pembicaraan dengan hewan.

"Mana aku tau nyaong, aku tidak mau repot menghapal semua wajah di sekolah ini nyaong."

"Kalau begitu tidak ada sentuhan untukmu."

"Dia memakai baju serba hitam nyaong! Selain itu aku tidak tahu lagi." Aku tersenyum, segera berlutut menyentuh kucing itu, memberikan sedikit energiku. Informasi itu sudah cukup untuk melacaknya dengan menggunakan tumbuhan.

Aku berdiri, beralih menatap mereka yang ternyata memperhatikanku berinteraksi dengan kucing itu, "Kalau baunya berhenti disini, bisa jadi dia pergi dengan menggunakan kendaraan." Aku menjelaskan lagi.

"Masuk akal." Wonjin menanggapi, semuanya mengangguk setuju. "Ayo kita lacak dia sepulang sekolah nanti." Tambahnya lagi.

"Ayo, itu layak untuk dicari tahu." Aku mengiyakan. Membuat mereka bersemangat.

My Universe || CravityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang